Setiap Orang Bisa Futur (Kendor Semangat)
عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَيَحْيَى بْنُ جَعْدَةَ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ الرَّسُولِ قَالَ ذَكَرُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَوْلاَةً لِبَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ إِنَّهَا قَامَتِ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ. قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَكِنِّى أَنَا أَنَامُ وَأُصَلِّى وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ فَمَنِ اقْتَدَى بِى فَهُوَ مِنِّى وَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدِ اهْتَدَى »
Dari Mujahid, ia berkata, aku dan Yahya bin Ja’dah pernah menemui salah seorang Anshor yang merupakan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, para sahabat Rasul membicarakan bekas budak milik Bani ‘Abdul Muthollib. Ia berkata bahwa ia biasa shalat malam (tanpa tidur) dan biasa berpuasa (setiap hari tanpa ada waktu luang untuk tidak puasa). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Akan tetapi aku tidur dan aku shalat malam. Aku pun puasa, namun ada waktu bagiku untuk tidak berpuasa. Siapa yang mencontohiku, maka ia termasuk golonganku. Siapa yang benci terhadap ajaranku, maka ia bukan termasuk golonganku. Setiap amal itu ada masa semangat dan ada masa malasnya. Siapa yang rasa malasnya malah menjerumuskan pada bid’ah, maka ia sungguh telah sesat. Namun siapa yang rasa malasnya masih di atas ajaran Rasul, maka dialah yang mendapat petunjuk.” (HR. Ahmad 5: 409).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa ia telah menikahi wanita dari Quraisy, namun ia tidaklah mendatanginya (menyetubuhinya) karena sibuk puasa dan shalat (malam). Lalu ia menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, “Berpuasalah setiap bulannya selama tiga hari.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan padanya, “Puasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata padanya, “Khatamkanlah Al Qur’an dalam sebulan sekali.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 15 hari.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 7 hari.” Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Khatamkanlah setiap 3 hari.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ingatlah setiap amalan itu ada masa semangatnya. Siapa yang semangatnya dalam koridor ajaranku, maka ia sungguh beruntung. Namun siapa yang sampai futur (malas) hingga keluar dari ajaranku, maka dialah yang binasa.” (HR. Ahmad 2: 188. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, demikian kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: https://muslim.or.id/
BAGIMU PEMUDA NAN MALAS BEKERJA
Pada sebuah kesempatan, Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah ditanya, “Ada seorang pemuda, ia mampu bekerja tapi enggan bekerja. Apa pendapat anda?”
Beliau menjawab:
Pendapatku sama dengan pendapat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
أرى الشاب فيعجبني فأسأل عن عمله فيقولون لا يعمل فيسقط من عيني
“Aku melihat seorang pemuda, ia membuatku kagum. Lalu aku bertanya kepada orang-orang mengenai pekerjaannya. Mereka mengatakan bahwa ia tidak bekerja. Seketika itu pemuda tersebut jatuh martabatnya di mataku”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إن أطيب كسب الرجل من يده
“Pendapatan yang terbaik dari seseorang adalah hasil jerih payah tangannya” (HR. Ibnu Majah no.2138, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 1685).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki yang kulit tangannya kasar, beliau bersabda,
هذه يد يحبها الله ورسوله
“Tangan ini dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya” (HR. Al Khathib Al Baghdadi dala, Tarikh Baghdad [8 / 317 — 318], didhaifkan Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah [568]).
Beliau juga bersabda,
إذا قامت القيامة وفي يد أحدكم فسيلة فليغرسها
“Jika qiamat telah datang, dan ketika itu kalian memiliki cangkokan tanaman, tanamlah!” (HR. Ahmad no.12902, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth).
Beliau juga bersabda,
كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يعول
“Seseorang itu sudah cukup dikatakan sebagai pendosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Ahmad no.6842, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth).
Jika seseorang duduk di masjid menyibukkan diri dalam urusan agama, menuntut ilmu agama atau beribadah namun menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya, ia adalah seorang pendosa. Ia tidak paham bahwa bekerja untuk menjaga iffah dirinya, istrinya dan anak-anaknya adalah ibadah. Terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الساعي على الأرملة والمسكين كالمجاهد في سبيل الله
“Petugas pengantar shadaqah untuk janda dan orang miskin bagaikan mujahid di jalan Allah”
Al Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman, membawakan sebuah riwayat dari Umar radhiyallahu ‘anhu:
يا معشر القراء (أي العباد) ارفعوا رؤوسكم، ما أوضح الطريق، فاستبقوا الخيرات، ولا تكونوا كلاً على المسلمين
“Wahai para pembaca Qur’an (yaitu ahli ibadah), angkatlah kepada kalian, sehingga teranglah jalan. Lalu berlombalah dalam kebaikan. Dan janganlah menjadi beban bagi kaum muslimin”
Dan janganlah menjadi beban bagi orang lain. Muhammad bin Tsaur menceritakan, suatu ketika Sufyan Ats Tsauri melewati kami yang sedang berbincang di masjidil haram. Ia bertanya: ‘Kalian sedang membicarakan apa?’. Kami berkata: ‘Kami sedang berbincang tentang mengapa kita perlu bekerja?’. Beliau berkata:
اطلبوا من فضل الله ولا تكونوا عيالاً على المسلمين
“Carilah rezeki dari Allah dan janganlah menjadi beban bagi kaum muslimin”.
Pada kesempatan lain, Sufyan Ats Tsauri sedang sibuk mengurus hartanya. Lalu datanglah seorang penuntut ilmu menanyakan sebuah permasalahan kepadanya, padahal beliau sedang sibuk berjual-beli. Orang tadi pun lalu memaparkan pertanyaannya. Sufyan Ats Tsauri lalu berkata: ‘Wahai anda, tolong diam, karena konsentrasiku sedang tertuju pada dirhamku, dan ia bisa saja hilang (rugi)’. Beliau pun biasa mengatakan,
لو هذه الضيعة لتمندل لي الملوك
“Jika dirham-dirham ini hilang, sungguh para raja akan memanjakan diriku”
Ayyub As Sikhtiani berkata:
الزم سوقك فإنك لا تزال كريماً مالم تحتج إلى أحد
“Konsistenlah pada usaha dagangmu, karena engkau akan tetap mulia selama tidak bergantung pada orang lain”
Agama kita tidak mengajak untuk miskin. Ali radhiallahu ‘anhu berkata:
لو كان الفقر رجلاً لقتلته
“Andaikan kefaqiran itu berwujud seorang manusia, sungguh akan aku bunuh ia”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdoa,
اللهم إني أعوذ بك من الكفر والفقر
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kekafiran dan kefaqiran”
Maka wajib bagi setiap muslim untuk bekerja, berusaha, bersungguh-sungguh dan tidak menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya. Orang yang hanya duduk diam, ia bukanlah mutawakkil (orang yang tawakal), melainkan ia adalah mutawaakil (orang yang pura-pura tawakkal). Ini adalah kemalasan.
Manusia diciptakan di dunia agar mereka dapat bekerja, berusaha dan bersungguh-sungguh. Para nabi pun bekerja, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu pun berdagang. Orang yang berpendirian bahwa duduk diam tanpa bekerja adalah tawakkal, kemungkinan pertama ia memiliki pemahaman agama yang salah, atau kemungkinan kedua ia adalah orang malas yang gemar mempercayakan urusannya pada orang lain.
Kepada orang yang demikian kami nasehatkan, perbaikilah niat anda dan carilah penghasilan yang halal, bertaqwalah kepada Allah dan tetap berada dalam ketaatan. Bersemangatlah untuk menghadiri perkumpulan penuntut ilmu dan menghadiri majelis ilmu dengan tanpa menelantarkan orang yang menjadi tanggungan anda. Orang yang inginnya meminta-meminta dari orang lain, Allah akan membukakan baginya pintu kefaqiran. Orang yang bekerja, dialah orang yang kaya. Karena kekayaan hakiki bukanlah harta, melainkan kekayaan jiwa. Orang yang kaya jiwanya tidak gemar meminta-minta kepada orang lain.
Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufiq agar menjalankan apa yang Allah cintai dan ridhai.
[Diterjemahkan oleh Yulian Purnama dari Fatawa Syaikh Masyhur Hasan Salman, fatwa no.94]
*) Beliau adalah seorang ulama di masa ini yang berasal dari negeri Palestina, dan merupakan salah seorang murid dari Asy Syaikh Al Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Beliau dikenal sebagai seorang muhaqqiq (peneliti), pakar hadits dan pakar fiqih.
Penerjemah: Yulian Purnama, S. Komp.
Sumber: https://muslim.or.id/
Oleh: Wakit Prabowo
Islam adalah agama yang mengajarkan semangatbekerja. Inilah sebagian bukti bahwa Islam mengajarkan umat manusia untuk senantiasa bersemangat dan tidak bermalas-malas.
Islam adalah agama yang kaffah. Dalam Islam, semua persoalan hidup manusia sudah diatur dan diberikan solusi yang mengandung ajaran kebenaran bagi kehidupan seluruh umat manusia. Dan tidak akan pernah bertentangan dengan penemuan dan teori penemuan manusia yang paling mutakhir. Islam sejak jauh hari lebih maju dan tidak pernah ketinggalan zaman dari semua kemajuan yang pernah dicapai umat manusia, sampai kapan pun.
Bagaimana Islam melihat fenomena kemalasan dalam diri manusia? Islam sejak lama memberikan “rambu-rambu lampu kuning” untuk masalah ini. Islam memberikan perhatikan besar. Contoh, doa agar terbebas dari kemiskinan , kefakiran dan lilitan utang: “Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas...” (HR. Abu Dawud). Ternyata, isi doa ini bukanlah “secara spesifik” agar diberi pekerjaan, rezeki melimpah, hasil pekerjaannya melimpah, uang banyak. Ternyata tidak. Tetapi kita dituntun untuk berdoa agar terbebas dari kemalasan.
Dalam doa-doa yang lain, Islam mengajarkan kita untuk lebih berkonsentrasi penuh dalam wilayah sebab, dengan doa yang intinya permohonan agar terbebas dari kemalasan. (Meskipun Islam juga mengajarkan meminta akibat, seperti yang terkandung dalam do'a "Sapujagat".)
Benarlah pola retorika yang diajarkan Islam. Pertama mengajari kita membentuk pola pikir yang tidak istan. Artinya, Islam mengajarkan untuk bersabar dan mengikuti aturan yang mensyaratkan bagi keberhasilan. Meski kita sebenarnya tidak dilarang meminta akibat. Akan tetapi kita dituntun untuk lebih dahulu menyempurnakan proses atau penyebab keberhasilan. Bukankah sebab akan membentuk akibat? Jika sebabnya baik, akibatnya juga baik, dan sebaliknya. Jika prosesnya baik, hasilnya juga memuaskan.
Dalam lingkup lebih luas, tengok kembali Ummul Kitab, QS. Al-Fatihah yang menjadi conclusionisi Al-Quran. Dalam QS Al-Fatihah, manusia dituntun oleh Allah bukan untuk minta kebahagiaan secara langsung, atau meminta surga. Tetapi redaksinya: Ihdinashshiraathal mustaqiim ….. Yakni permintaan agar “diberikan jalan lurus dan dihindarkan dari jalan mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Apakah jalan itu sebuah tujuan? Bukan. Jalan berarti proses yang harus dilewati untuk mengantarkan seseorang ke tujuan tertentu. So, jalan di sini kita maknai bukan pada wilayah akibat. Jalan merupakan sebab untuk mendapatkan kebahagiaan.
Begitu luar biasanya ajaran Islam. Ajarannnya terang-terangan menunjukkan kebenaran, dan mengajak kita untuk mentaddaburi ungkapan-ungkapan firman-Nya yang maha benar, untuk kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga untuk konteks ini, kita akan terbebas dari cara berpikir instan. Yakni hanya melulu aspek akibat saja, akan tetapi mengajak kita masuk ke dalam aspek sebab. Sehingga energi yang kita keluarkan tidak hanya terfokus dan terkuras ke target atau hasil, melainkan penyempurnaan proses menjadi urgen dan keharusan. Ternyata inilah rahasianya, bahwa proses jauh lebih penting daripada hasil.
Wilayah sebab dapat kita raih dan sempurnakan dengan semangat melakukan aksi terbaik agar tercapai tujuan. Islam adalah agama yang mengajarkan semangat bekerja. Inilah sebagian bukti bahwa Islam mengajarkan umat manusia untuk senantiasa bersemangat dan tidak bermalas-malas. Dalam sebuah hadis dinyatakan, “Allah Subhanahu wa ta’ ala mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap, ‘Cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung’.” (HR. Abu Dawud, hadis ini dinilai lemah oleh Al-Albani)
Inilah salah satu bukti bahwa Islam agama yang menekankan semangat dalam menjalani kehidupan. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan dan teladan paling sempurna yang diturunkan Allah untuk umat manusia, beliau mencontohkan dalam hidupnya semangat menjalani hidup. Tidak ada satu pun aktivitas Nabi bermalas-malasan. Meski beliau ditugasi oleh Allah Subhanahu wa ta’ ala untuk menyebarkan agama ke muka bumi, tetapi beliau tidak meninggalkan bekerja. Beliau tetap bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, karena beliau mempunyai keluarga.
Hendaknya kita sebagai umat Islam meneladani kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat jauh dari bermalas-malasan. Tetap mengobarkan semangat menjalani kehidupan. Konsep semangat adalah bahwa manusia diciptakan dan dalam “kesemangatan” untuk kehidupan di dunia maupun akhirat. Allah Subhanahu wa ta’ ala pun lebih menyukai orang kuat daripada orang lemah. Orang malas simbol orang lemah: lemah agamanya, lemah ekonominya, lemah pendidikannya, lemah tali silaturahimnya, lemah kekuasaannya. Bukankah ujung semua kelemahan itu adalah kemalasan seseorang untuk berusaha dan bekerja agar bisa menjadi kuat? Untuk itu sebenarnya kemalasan dapat kita pahami merupakan sikap yang dibenci Allah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah, ‘Qodarulloh wa maa syaa’a fa’al,’ Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” (HR. Muslim)
[Majalah Cetak Pengusaha Muslim Indonesia]
Sumber: https://pengusahamuslim.com/