Pendahuluan
Alhamdulillâh, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarga dan sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan disertai berbagai bukti nyata akan kebenarannya. Bukti-bukti itu tidak menyisakan sedikit pun alasan bagi siapapun untuk tetap bertahan dengan kesesatannya.
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Tiada seorangpun dari umat ini yang mendengar tentang aku, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani, lalu ia meninggal dunia sedangkan ia tidak beriman dengan agama yang aku emban, melainkan ia menjadi penghuni neraka. [HR. Muslim, no. 240]
Diantara bukti kebenaran agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah tidak ditemukan pertentangan dalam syari’at beliau. Seluruh syari’at yang beliau ajarkan saling mengukuhkan dan menguatkan.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’ân ? Kalau al-Qur’ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisa/4:82]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Telah menjadi ketetapan dalam syari’at Allâh Azza wa Jalla bahwa hukum satu masalah adalah hukum bagi setiap masalah yang serupa dengannya. Syari’ah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin membedakan antara dua hal yang serupa sebagaimana tidak menyamakan antara dua hal yang berbeda. Barangsiapa menduga ada yang menyelisihi ketetapan ini, maka itu lebih disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang syari’at. Bisa pula ia kurang bisa mengenali persamaan dan perbedaan antara dua masalah yang terkesan serupa. Dan bisa pula karena ia menganggap suatu itu sebagai bagian dari syariat, padahal sejatinya hal tersebut hanyalah pendapat sebagian orang belaka. Berkat kebijakan dan keadilan Allâh, kesempurnaan ciptaan dan syari’at-Nya menjadi nyata. Dan berkat keadilan dan logika yang benar, ciptaan Allâh dan syari’at-Nya dapat tegak. Dan yang dimaksud dengan logika ialah menyamakan antara dua hal yang serupa dan membedakan antara dua hal yang berbeda.”[1]
Pengertian Qiyâs
Qiyâs atau analogi ialah suatu praktik penyamaan hukum antara sesuatu yang disebutkan hukumnya secara gamblang dalam agama (yang selanjutnya disebut al-maqis ‘alaih atau masalah utama) dengan suatu yang tidak dijelaskan hukumnya dalam agama (yang selanjutnya disebut al-maqis atau masalah cabang). Penyamaan ini dilakukan karena ada kesamaan dalam penyebab hukum atau yang masyhur disebut dengan ‘illah.
Rukun-Rukun Qiyâs
Pada setiap qiyâs yang benar, pasti terdapat empat hal atau rukun. Masing-masing rukun ini memiliki kriteria dan persyaratan tersendiri. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan menjamin qiyâs tidak melampaui batas kekuatan hukumnya.
- Rukun pertama:
Hukum utama. Yaitu hukum masalah utama yang ketetapannya termaktub dalam dalil al-Qur’ân, as-Sunnah atau ijmâ’. Adapun hukum yang berketatapan berdasarkan qiyâs atau yang dalil lainnya, maka tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai hukum utama dalam praktik qiyâs. Ini adalah syarat paling pokok pada hukum utama, walau sejatinya para Ulama’ merinci lebih jauh dari apa yang dipaparkan di sini.
- Rukun kedua:
‘Illah (alasan penetapan hukum pada masalah utama) Qiyâs atau analogi ialah suatu praktik penyamaan antara hukum masalah utama dengan masalah cabang. Penyamaan ini berlandaskan adanya kesamaan dalam alasan hukum atau yang masyhur disebut dengan ‘illah. Bila demikian, berarti pada setiap qiyâs pasti terdapat ‘illah yang mempersatukan antara kedua masalah. Ulama’ ahli ushul fiqih telah bersepakat bahwa ‘illah yang berperan sebagai pemersatu ini haruslah memenuhi beberapa kriteria berikut :
1. Dia adalah sesuatu yang bersifat maknawi yang benar-benar berperan utama dalam keberadaan hukum pada masalah utama dan cabang. Sehingga, setiap kali ia ada, hukumnya juga ada. Dan sebaliknya, setiap kali dia tiada, maka hukumnya juga hilang atau tiada. Contoh, menurut madzhab Maliki, alasan penetapan hukum-hukum riba perniagaan (riba fadhl) pada kurma dan gandum ialah karena keduanya sebagai makanan pokok yang dapat disimpan. Berdasarkan ini mereka berpendapat bahwa setiap makanan pokok yang dapat disimpan berlaku padanya hukum-hukum riba perniagaan.
2. Illah harus nampak nyata, sehingga dengan mudah diidentifikasi atau dikenali. Syarat ini bertujuan agar penyamaan antara hukum masalah cabang dengan masalah utama dapat dilakukan dengan mudah.
3. Pemersatu tersebut adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’ân dan hadits. Karena qiyâs hanya berkekuatan hukum dalam kondisi darurat, yaitu ketika tidak ditemukan dalil al-Qur’ân, as-Sunnah atau Ijmâ’.
- Rukun Ketiga:
Masalah Cabang. Karena tujuan qiyâs ialah mengetahui hukum masalah cabang, maka suatu hal yang alami bila masalah cabang ialah : Masalah yang belum memiliki ketetapan hukum dalam dalil al-Qur’ân, as-Sunnah atau Ijmâ’. Masalah cabang adalah masalah baru, terjadi setelah penetapan hukum pada masalah utama. Pada masalah cabang terdapat makna pemersatu ‘illah yang ada pada masalah utama.
- Rukun Keempat:
Hukum Masalah Cabang Hukum masalah cabang ialah hasil akhir dari praktik qiyâs. Karenanya, bila Anda telah berhasil menemukan hukum pada masalah cabang, maka Anda telah sukses menjalankan qiyâs. Hanya saja, Anda perlu tahu, apakah hasil qiyâs Anda tepat atau salah ? Tepat atau tidaknya proses qiyâs Anda, dapat dikenali dengan mengenali kriteria hukum masalah cabang. Ulama’ ahli ushul fiqih telah menjelaskan bahwa hukum hasil qiyâs Anda harus sama dengan hukum pada masalah utama. Bila hukum hasil qiyâs anda berbeda dengan hukum pada masalah utama, maka ini menjadi bukti bahwa qiyâs Anda salah, atau yang sering disebut oleh para ulama’ dengan sebutan qiyâs ma’al farqi. Yaitu memaksakan qiyâs masalah cabang dengan masalah utama, padahal antara keduanya terdapat perbedaan mendasar.
Dengan demikian tidak dapat diterima bila hukum masalah utama wajib, sedangkan hasil qiyâs pada masalah cabang adalah hukum sunnah. Sebagaimana tidak dapat diterima qiyâs gaji (profesi) dengan hasil tanaman dalam hal zakat, karena zakat pertanian adalah 10% atau 5 %, sedangkan menurut penggiat zakat profesi, zakat profesi sebesar 2,5 %.
Penjelasan tentang rukun-rukun qiyâs ini saya sarikan dari kitab Irsyâdul Fuhûl karya Imam as-Syaukâni, 2/149-166
Syarat-Syarat Qiyâs
Ulama’ ahli ilmu Ushûl Fiqih telah membahas masalah ini dengan panjang lebar. Dari penjelasan mereka, dapat disarikan beberapa persyaratan berikut:
1. Hukum masalah utama ditetapkan berdasarkan dalil dari al-Qur’ân, as-sunnah atau ijmâ’ Ulama’
2. Alasan (‘illah) penetapan hukum masalah utama dapat diketahui dengan logika, sehingga alasan ini dapat diterapkan pada masalah cabang
3. Alasan penetapan hukum pada masalah utama didapatkan pula pada masalah cabang yang akan diqiyaskan
4. Tidak ditemukan dalil khusus yang menetapkan suatu hukum pada masalah cabang yang akan diqiyaskan 5. Proses qiyâs akan menghasilkan hukum yang sama dengan hukum yang pada masalah utama. Dengan demikian tidak dapat diterima bila hukum masalah utama wajib, sedangkan hasil qiyâs pada masalah cabang adalah hukumnya sunnah. Sebagaimana tidak dapat diterima qiyâs gaji (profesi) dengan hasil tanaman dalam hal zakat, karena zakat pertanian adalah 10% atau 5 %, sedangkan menurut penggiat zakat profesi, zakat profesi sebesar 2,5 %
6. Alasan penetapan hukum pada masalah utama dapat diketahui dengan jelas, sebagaimana yang telah dijabarkan oleh para Ulama’ ahli ushul fiqh
7. Alasan yang dijadikan penyatu antara masalah utama dengan masalah cabang adalah suatu hal yang dipertimbangkan dalam syari’at dan benar-benar memiliki pengaruh pada penetapan hukum
8. Qiyâs hanya berlaku pada hukum-hukum praktis, yaitu hukum yang ada kaitannya dengan amaliyah atau praktek . Sedangkan dalam urusan akidah atau idiologi maka qiyâs tidak dapat dijadikan dasar hukum, terlebih-lebih bila bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’ân dan as-sunnah
Qiyâs Sebagai Dalil Dalam Agama
Imam Syâfi’i rahimahullah berkata, “Setiap urusan yang menimpa seorang muslim pastilah ada penjelasan tentang hukumnya atau petunjuk yang menunjukkan jalan kebenaran tentangnya. Karenanya, bila telah ditemukan hukum khusus tentang masalahnya, maka ia wajib untuk mengamalkanya. Namun bila tidak ditemukan hukum khusus tentang masalahnya, maka ia wajib mencari petunjuk menuju jalan kebenaran yaitu dengan berijtihad. Dan yang dimaksud dengan ijtihad ialah qiyâs.”[2]
Imam Syâfi’i rahimahullah menganggap bahwa qiyâs adalah ijtihad yang semestinya dilakukan oleh seorang Ulama’ ketika tidak menemukan hukum suatu masalah dalam al-Qur’ân dan as-Sunnah. Ini bukanlah klaim yang tanpa dasar, akan tetapi sebaliknya. Klaim ini adalah hasil kajian panjang beliau rahimahullah, dari berbagai dalil dalam syari’at. Beliau rahimahullah mendapatkan praktek dan contoh nyata dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan kepada sahabatnya agar senantiasa menyamakan antara dua hal yang serupa dan membedakan antara dua hal yang berbeda.
Berikut beberapa praktek qiyâs yang dicontohkan Nabi kepada sahabatnya. Pertama : Pada suatu hari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Pada hari ini aku telah melakukan kesalahan besar, yaitu aku mencium (istriku), padahal aku sedang berpuasa. Menanggapi pengaduan sahabatnya ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ؟ فَقُلْتُ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَفِيم
Apa pendapatmu bila engkau berkumur-kumur dengan air, padahal engkau sedang berpuasa ? Sahabat Umar menjawab, “Tentu tidak masalah.” Mendengar jawaban demikian, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya dengan bersabda, “Lalu mengapa engkau risau? [Riwayat Ahmad dan lainnya]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pada hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahwa muqadimah (permulaan) suatu hal yang terlarang tidak serta merta terlarang pula. Ciuman yang merupakan permulaan hubungan badan, tidak serta merta haram hanya karena hubungan badan bagi orang yang sedang berpuasa itu haram. Demikian pula dengan memasukkan air ke mulut yang merupakan permulaan dari meminumnya. Permulaan meminum yaitu berkumur-kumur juga tidak haram.”[3]
Kedua: Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahgu anhu mengisahkan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَاءَهُ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتِى وَلَدَتْ غُلاَمًا أَسْوَدَ . فَقَالَ « هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ » . قَالَ نَعَمْ . قَالَ « مَا أَلْوَانُهَا » . قَالَ حُمْرٌ . قَالَ « فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ » . قَالَ نَعَمْ . قَالَ « فَأَنَّى كَانَ ذَلِكَ » . قَالَ أُرَاهُ عِرْقٌ نَزَعَهُ . قَالَ « فَلَعَلَّ ابْنَكَ هَذَا نَزَعَهُ عِرْقٌ » . متفق عليه
Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahgu anhu mengisahkan, “Ada seorang arab baduwi yang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya istriku melahirkan seorang anak berkulit hitam (sedangkan aku berkulit putih).” Mendengar keluhan sahabatnya ini, Rasûlullâh balik bertanya, “Apakah engkau memiliki onta ?” Penanya menjawab, “Ya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa warna kulit onta-ontamu ?” Sahabat itu menjawab, “Putih kemerah-merahan.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanyalagi, “Apakah ada dari ontamu yang berkulit hitam keabu-abuan ?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi melanjutkan pertanyaannya, “Darimanakah datangnya warna kulit onta itu ?” Penanya berusaha menjelaskan dengan berkata, “Menurutku dahulu ada dari induknya yang berwarna demikian.” Mendengar penjelasan itu, Nabi balik berkata, “Mungkin juga anakmu menuruni warna kulit salah seorang nenek moyangnya.” [Riwayat Bukhâri, no.6455 dan Muslim, no. 1500]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah mengatakan, ”Pada hadits ini terdapat perumpamaan, menyerupakan suatu hal yang dipersoalkan dengan hal yang telah diketahui bersama, guna mendekatkan pemahaman. Dan hadits ini merupakan dasar penggunaan qiyâs.”[4]
Ketiga: Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Ada seorang wanita datang menjumpai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia bertanya, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan meninggalkan kewajiban berpuasa sebulan, apakah boleh bagiku untuk menebusnya ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ. قَالَتْ : نَعَمْ, قَالَ: فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
Andai ibumu menanggung piutang, apakah engkau sudi untuk melunasinya ? Wanita itu menjawab, “Tentu.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya dengan bersabda, “Sesungguhnya piutang milik Allâh lebih layak untuk ditebus.” [Riwayat Bukhâri, no. 1754 dan Muslim, no. 1148]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Pada hadits ini terdapat petunjuk tentang benarnya qiyâs, yaitu pada sabda beliau, “Sesungguhnya piutang milik Allâh lebih layak untuk ditebus.”[5]
Berbagai dalil di atas merupakan bukti bahwa qiyâs adalah salah satu dasar pengambilan hukum dalam syari’at Islam. Qiyâs Tercela Dan Qiyâs Terpuji Walaupun tidak diragukan tentang status qiyâs sebagai dalil hukum dalam syari’at, namun bukan berarti semua bentuk qiyâs dibenarkan dalam syari’at. Baca Juga Bagaimana Ulama Berijtihad Al-Karmani rahimahullah mengatakan, “Ada dua jenis qiyâs. Pertama, qiyâs yang benar, yaitu qiyâs yang memenuhi berbagai persyaratannya. Kedua, qiyâs yang salah, yaitu yang tidak memenuhi persyaratannya. Qiyâs yang inilah yang tercela, sedangkan qiyâs yang benar, maka dia tidak tercela, bahkan dianjurkan.[6]Bila faktanya demikian, maka sudah sepantasnya bila anda bersikap waspada, sehingga tidak gegabah dalam menerapkan qiyâs atau menerima hasil qiyâs orang lain. Karena kecerobohan anda dapat berakibat fatal dan menyengsarakan anda. Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, “Segala bentuk amalan bid’ah dan pendapat sesat yang disusupkan ke dalam agama para rasul berawalkan dari qiyâs yang salah.”[7]
Anda Berhak Berdalil Dengan Qiyâs? Untuk mengetahui apakah anda berhak untuk berdalil dengan qiyâs atau tidak ? Saya ajak anda untuk mencermati beberapa ucapan Imam Syâfi’i rahimahullah, beliaulah ulama pertama yang membukukan ilmu ushûl fiqh berikut : “Tidak dibenarkan untuk berdalil dengan qiyâs selain orang yang telah menguasai ilmu pendukung qiyâs yang terdiri dari : Ilmu hukum-hukum al-Qur’ân, yang wajib, sunnah, penganulir (nâsikh) dan yang dianulir (mansûkh), yang bersifat umum, khusus dan berbagai petunjuknya. Selanjutnya ia menguraikan ayat-ayat yang terkesan multi tafsir dengan bantuan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bila ia tidak menemukannya dalam hadits, maka ia mencari petunjuk dari ijmâ’ Ulama’. Dan bila ia tidak menemukan kesepakatan Ulama’, maka ia dapat mencari petunjuk dari qiyâs. Tidak dibenarkan bagi siapapun untuk berdalil dengan qiyâs hingga ia menguasai seluruh hadits yang diriwayatkan sebelumnya, berbagai keterangan Ulama’ terdahulu, kesepakatan Ulama’, perselisihan mereka dan juga menguasai bahasa arab. Sebagaimana ia tidak dibenarkan berdalil dengan qiyâs hingga terbukti ia memiliki kecerdasan, sehingga ia mampu membedakan antara hal-hal yang terkesan serupa. Ditambah lagi, hendaknya ia berlaku hati-hati dan tidak terburu-buru dalam menarik kesimpulan sebelum ia memastikan kebenaran dari kesimpulannya. …. Adapun orang yang memiliki kecerdasan akan tetapi ia tidak menguasai berbagai ilmu pendukung yang telah saya jelaskan, maka tidak halal baginya untuk berdalil dengan qiyâs. Yang demikian itu dikarenakan ia tidak mengetahui dalil-dalil yang dapat ia jadikan dasar bagi qiyâsnya. Layaknya seorang ahli fiqih yang cerdas, maka tidak boleh untuk mengutarakan pendapatnya tentang nilai tukar uang dirham, padahal ia tidak mengetahui harga pasarannya. Adapun orang yang menguasai berbagai disiplin ilmu yang telah saya sebutkan hanya dengan menghafalnya tanpa memahaminya dengan utuh, maka ia juga tidak layak untuk berdalil dengan qiyâs, karena bisa saja ia tidak memahami kandungan makna dalil-dalil yang ada. Demikian pula halnya dengan orang yang kuat hafalannya akan tetapi ia kurang cerdas, atau kurang menguasai bahasa arab. Ia juga tidak berhak untuk berdalil dengan qiyâs, karena ia kurang pandai dalam memahami berbagai disiplin ilmu pendukung dalil qiyâs. Dan menurut pendapatku, orang yang demikian ini halnya tidak halal untuk mengutarakan suatu pendapat – wallahu a’alam- kecuali dengan mengikuti Ulama’ lain dan tidak berdalil sendiri dengan qiyâs.”[8]
Jujur saja saudaraku ! Bagaimana perasaan Anda tatkala membaca penjelasan Imam Syafi’i rahimahullah di atas ? Setelah membaca ucapan beliau rahimahullah ini, sudahkah anda merasa layak untuk berdalil dengan qiyâ? Kapan Anda Boleh Berdalil Dengan Qiyâs? Mungkin saat ini Anda bergumam dan berkata, “Begitu sulitnya untuk bisa berdalil dengan qiyâs.” Dan mungkin juga Anda bertanya, “Sejatinya, seberapa jauh peranan dalil qiyâs dalam penetapan hukum syari’at?” Untuk mengobati rasa penasaran Anda, kembali saya mengajak Anda untuk merenungkan penegasan Imam Syâfi’i rahimahullah. Rasa penasaran Anda jauh-jauh hari telah beliau t sediakan penawarnya. Simak dan camkanlah jawaban beliau berikut : “Kami menentukan suatu hukum dengan dasar kesepakatan hasil ijtihâd Ulama’ dan juga qiyâs, dan ini adalah dalil yang jauh lebih lemah bila dibanding dengan dalil al-Qur’ân dan as-Sunnah. Akan tetapi pengambilan dalil dari kesepakatan hasil ijtihâd dan qiyâs ini kami lakukan ketika dalam keadaan darurat. Sejatinya tidak halal berdalil dengan qiyâs selama ditemukan dalil dari al-Qur’ân dan as-Sunnah. Sebagaimana tayammum, dia dianggap sebagai kesucian ketika dalam perjalanan dan kesulitan menemukan air. Tayammum tidak dianggap sebagai kesucian bila Anda mendapatkan air. Tayammum hanya dianggap sebagai kesucian bila sedang dalam kesulitan untuk mendapatkan air.”[9]
Demikianlah kedudukan qiyâs yang sebenarnya sebagai dalil hukum dalam syari’at. Qiyâs hanya berlaku ketika tidak ada penjelasan hukum dalam al-Qur’ân dan as-Sunnah. Adapun bila pada suatu masalah ditemukan dalil dari al-Qur’ân dan as-Sunnah, maka anda tidak dibenarkan untuk berdalil dengan qiyâs dan menghasilkan kesimpulan hukum yang menyelisihi keduanya. Seluruh Ulama’ telah bersepakat bahwa qiyâs yang menghasilkan kesimpulan hukum yang menyelisihi ayat atau hadits adalah qiyâs tidak sah atau disebut fasidul i’itibar (tidak pada tempatnya)[10].
Penutup. Demikian selayang pandang tentang dalil qiyâs yang pada zaman sekarang sering disalah pahami oleh sebagian umat Islam. Qiyâs yang sejatinya hanya menjadi dalil pada kondisi darurat, yaitu ketika tidak ditemukan dalil al-Qur’ân dan as-sunnah, akan tetapi pada zaman sering dipertentangkan dengan keduanya. Sebagaimana qiyâs hanya boleh digunakan oleh orang yang benar-benar mumpuni, akan tetapi sekarang, banyak orang yang lancang menggunakannya untuk membenarkan sikap dan pendapatnya. Semoga penjelasan singkat ini mampu membuka wawasan Anda tentang dalil qiyâs sebagaimana yang dipahami oleh Ulama’-ulama’ kita.
Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab.
_______
Footnote
[1] Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim 4/246
[2] ar-Risâlah, hlm. 477
[3] I’ilâmul Muwaqqi’în, 4/174
[4] Fathul Bâri, 9/444
[5] Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, 8/26.
[6] Fathul Bâri oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah, 13/297
[7] I’ilâmul Muwaqqi’în, 2/29.
[8] ar-Risâlah, hlm. 509-511
[9] ar-Risâlah, hlm. 509-600
[10] al-Ihkâm Fi Ushûlil Ahkâm oleh al-Aamidi, 4/76 dan Irsyâdul Fuhûl oleh as-Syaukâni, 2/158
Sumber: https://almanhaj.or.id/