Type Here to Get Search Results !

 


MENURUT ASYAIROH AL-QURAN YANG KITA BACA ADALAH MAKHLUK #2



Pernyataan Asya’iroh bahwasanya Allah tidak berbicara dengan suara bukanlah produk yang baru, akan tetapi pendapat seperti ini sudah ada di zaman al-Imam Ahmad bin Hanbal (yang wafat tahun  241 H), yaitu jauh sebelum lahirnya madzhab Asyairoh

  • Abdullah (putranya imam Ahmad) berkata:

سَأَلْتُ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ قَوْمٍ، يَقُولُونَ: لَمَّا كَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُوسَى لَمْ يَتَكَلَّمْ بِصَوْتٍ فَقَالَ أَبِي: «بَلَى إِنَّ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ تَكَلَّمَ بِصَوْتٍ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ نَرْوِيهَا كَمَا جَاءَتْ»

“Aku bertanya kepada ayahku tentang suatu kaum yang mereka berkata, “Tatkala Allah berbicara dengan Musa, maka Allah tidaklah berbicara dengan suara?”. Maka ayahku (yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal)  berkata, “Justru sesungguhnya Rabbmu azza wa jalla telah berfirman dengan suara. Inilah hadits-haditsnya kami riwayatkan sebagaimana datangnya’ (As-Sunnah 1/280 No. 533, sebagaimana juga dinukil oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/460)

  • Abdullah putra Al-Imam Ahmad juga berkata :

وَقَالَ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ: «حَدِيثُ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ» إِذَا تَكَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ سُمِعَ لَهُ صَوْتٌ كَجَرِّ السِّلْسِلَةِ عَلَى الصَّفْوَانِ ” قَالَ أَبِي: وَهَذَا الْجَهْمِيَّةُ تُنْكِرُهُ وَقَالَ أَبِي: هَؤُلَاءِ كُفَّارٌ يُرِيدُونَ أَنْ يُمَوِّهُوا عَلَى النَّاسِ، مَنْ زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَتَكَلَّمْ فَهُوَ كَافِرٌ، أَلَا إِنَّا نَرْوِي هَذِهِ الْأَحَادِيثَ كَمَا جَاءَت

“Dan ayahku -semoga Allah merahmatinya- berkata : Hadits Ibnu Mas’udh radhiallahu ‘anhu (dimana Nabi bersabda) : “Jika Allah azza wa jalla berfirman maka terdengar suaraNya seperti gegsekan rantai besi di atas batu licin”. Ayahku berkata, “Hadits ini diingkari oleh Jahmiyah”. Beliau berkata, “Mereka itu (jahmiyah) adalah kafir, mereka ingin mengelabui manusia. Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah tidak berbicara maka ia telah kafir. Dan kami meriwayatkan hadits-hadits ini sebagaimana datangnya” (As-Sunnah hal 1/281 No. 534)

Karenanya sikap tegas telah nampak sejak dulu dari para ulama terhadap kaum yang menyatkan Allah berbicara tanpa suara.

  • Al-Imam Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi (wafat 620 H) berkata :

ومن زعم أن هذا الكتاب غير القرآن، وأنه كلام المخلوقين وأن القرآن معنىً في النفس لا ينزل ولا يقرأ، ولا يسمع ولا يتلى، ولا ينفع، ولا له أول ولا آخر، ولا جزء ولا بعض، ولا هو سور، ولا آيات وحروف، ولا كلمات، فهذا زنديق راد على رب العالمين، وعلى رسوله الصادق الأمين، مخالف لجميع المسلمين، ناكب عن الصراط المستقيم

“Barang siapa yang menyangka bahwa al-kitab ini bukanlah al-Qur’an dan bahwasanya al-kitab ini adalah perkataan makhluk, dan bahwasanya al-Qur’an adalah makna yang ada pada diri (Allah) dan tidak turun, tidak dibaca, tidak didengar, tidak dibaca.., tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya, tidak terbagi, tidak ada sebagian, dan bukanlah surat-surat, bukan juga ayat-ayat, huruf-huruf, dan kalimat-kalimat, maka ia adalah zindiq, yang telah membantah Robbul ‘aalamin, dan membantah Rasulnya yang jujur dan terpercaya, menyelisihi seluruh kaum muslimin, dan menyimpang dari jalan yang lurus” (Risalaah fi al-Qur’an wa Kalaamillah hal 34)

Adapun dalil-dalil bahwasanya Allah berbicara dengan suara sangatlah banyak, diantaranya ;

  • Pertama: Dalam banyak ayat Allah mengkhabarkan bahwa Allah menyeru/memanggil hamba-hambaNya, seperti firman Allah :

وَنَادَيْنَاهُ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ الْأَيْمَنِ

“Dan Kami telah memanggilnya (yaitu Musa) dari sebelah kanan gunung Thur” (QS Maryam : 52)

وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ

“Dan Kami panggil dia : “Wahai Ibrahim” (QS As-Soffaat : 104)

وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ

“Dan ingatlah hari di waktu Allah menyeru mereka, seraya berkata : “Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?” (QS Al-Qosos : 62).

Dan firman Allah وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ  (Dan Ingatlah hari di waktu Allah menyeru mereka) juga terdapat pada ayat-ayat berikut (QS Al-Qosos : 65 dan 74) dan (QS Fussilat : 47)

وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Dan Rabb mereka berdua menyeru mereka : “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepada kamu berdua : “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS Al-A’raaf : 22)

Dan dalam bahasa Arab tidaklah dikatakan An-Nidaa’ (seruan) kecuali dengan suara.

  • Kedua : Firman Allah kepada nabi Musa ‘alaihis salam :

فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى

“Maka dengarlah kepada apa yang akan diwahyukan kepadamu” (QS Thoha : 14)

Abu Nasr As-Sijzi (wafat 444 H) telah menjelaskan bahwa yang namanya mendengar yaitu mendengar suara. Dan mendengar berbeda dengan memahami (lihat Risalah As-Sijzi hal 165 dan 244)

Karenanya Allah membedakan Nabi Musa dengan sebagian nabi-nabi yang lain, dimana Nabi Musa langsung diajak berbicara oleh Allah, sementara sebagian nabi-nabi yang lain dengan wahyu tanpa pembicaraan langsung. Allah berfirman :

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ … وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya … Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung (QS An-Nisaa : 163-164)

Dan dua cara ini (memberi wahyu dan berbicara langsung di balik hijab) telah dijelaskan juga Allah dalam ayat yang lain. Allah berfirman :

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir (QS Asy-Syuuroo ; 51)

Dibalik tabir yaitu Allah berbicara langsung dengannya dan bukan mewayhukan dengan memahamkan semata. (lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 6/531-532)

  • Ketiga : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

يقول الله عز وجل أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه حين يذكرني فإن ذكرَني في نفسه ذَكَرْتُه فِي نَفْسِي وإن ذكرَني في ملأ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خير منهم

“Allah azza wa jalla berkata ; Aku berdasarkan persangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya tatkala ia menyebutku. Jika ia menyebutKu dalam dirinya maka Aku akan menyebutnya di diriKu, dan jika ia menyebutKu di kumpulan orang maka Aku akan menyebutnya di kumpulan yang lebih baik dari kumpulan tersebut” (HR al-Bukhari No. 7405 dan Muslim No. 2675)

Al-Imam Adz-Dzahabi mengomentari hadits ini dengan berkata :

هذا حديث صحيح وفيه التفريق بين كلام النفس والكلام المسموع فهو تعالى متكلم بهذا وبهذا وهو الذي كلم موسى تكليما وناداه من جانب الطو

“Ini adalah hadits shahih, dan menunjukkan adanya perbedaan antara perkataan jiwa dan perkataan yang di dengar. Dan Allah yang maha tinggi berbicara dengan kedua cara ini, dan Dialah yang telah berbicara langsung dengan Musa dan memanggilnya dari sisi gunung at-Tuur” (al-‘Uluw li al-‘Aliy al-Ghoffaar hal 57)

                Sebelum menyebutkan syubhat-syubhat mereka, maka penulis ingatkan kembali tentang hakikat aqidah Asyairoh tentang al-Qur’an (maka silahkan baca kembali “MENURUT ASYAIROH AL-QUR'AN TANG KITA BACA ADALAH MAKHLUQ #1" dan penulis mendahulukan bantahan terhadap aqidah Asya’iroh tersebut secara global.

Sesungguhnya kelaziman dari aqidah mereka tentang kalamullah sebagai berikut:

    Mereka (Asyairoh) memandang bahwa Allah tidak pernah berbicara dengan suara. Kalau hal ini benar, lantas kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya tidak pernah menjelaskan sama sekali?. Jangankan dalam hadits yang shahih bahkan hadits yang palsu pun tidak pernah menjelaskan bahwa Alla bicara tanpa suara, dan al-Qur’an yang kalian baca tersebut hanyalah ungkapan dari bahasa jiwa Allah !!

    Bahkan seluruh ayat dan hadits menyatakan secara langsung dan tegas : “Allah berfirman”. Jika ternyata al-Qur’an bukan firman Allah hanya ungkapan/ibarat maka tentu kaum muslimin dari zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga saat ini tertipu dengan hal tersebut.

    Dalam seluruh bahasa (bahkan dalam bahasa Indonesia) yang namanya berbicara itu adalah dengan suara. Karena kalau renungan dalam hati dikatakan berbicara maka orang bisu bisa dikatakan sebagai orang yang berbicara. Akan tetapi dalam bahasa apapun orang bisu tetap dikatakan orang bisu (yaitu yang tidak bisa berbicara). Kita boleh menamakan pembicaraan dalam hati sebagai pembicaraan jika kita menyebutnya secara khusus yaitu “berbicara dalam hatinya”. Adapun kata “berbicara” tanpa disertai dengan “dalam hati” maka tidak dipahami kecuali berbicara dengan suara.

    Jika kalamullah hanyalah kalam nafsi yang tidak ada suara dan tanpa huruf, akan tetapi hanya makna yang ada pada jiwa, maka kalamullah dan sifat irodah (kehendak) Allah merupakan sesuatu yang sama tidak ada bedanya. Padahal Asyairoh sepakat bahwa sifat irodah bukan sifat kalam.

    Jika firman Allah tanpa suara, maka ini berarti Nabi Musa sesungguhnya tidak pernah berbicara dengan Allah secara langsung, sebagaimana ini juga pernyataan kaum jahmiyah. Dan ini jelas-jelas bertentangan dengan firman Allah “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” (QS An-Nisaa : 164)

    Hal ini juga menghilangkan keistimewaan Nabi Musa yang dikenal dengan Kaliimullah, karena pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara Nabi Musa dengan nabi-nabi yang lain.

    Asyairoh memandang bahwa kalaamullah adalah kalaam nafsi (kalam jiwa) dan qodim serta tidak pernah bertambah dan berkurang, selain itu juga tidak menerima pembagian. Sehingga jika kalam nafsi ini diungkapkan dengan bahasa Arab jadilah al-Qur’an, kalau diungkapkan dengan bahasa Ibrani jadilah Tauroh, dan jika diungkapkan dengan bahasa siryani jadilah injil. Padahal kita tahu isi al-Qur’an bukanlah isi Taurot, dan Isi Taurot bukanlah isinya injil. Kalau berdasarkan pemahaman Asyairoh seharusnya al-Qur’an kalau diterjemahkan ke bahasa Ibrani jadinya Taurot, dan kalau Injil diterjemahkan ke bahasa Arab jadi Al-Qur’an. Karena ketiga kitab suci ini (Al-Qur’an, Taurat, dan Injil) adalah sama-sama ungkapan dari kalam nafsinya Allah.

    Kita tahu bahwasanya kalamullah tiada batasnya, sementara al-Qur’an atau Taurot atau Injil isinya terbatas, maka tentu ini menunjukkan bahwa kitab-kitab suci tersebut tidak bisa mengungkapkan kalamullah an-nafsi yang tidak terbatas

    Kalau al-Qur’an adalah ungkapan dari sebagian kalaamullah an-Nafsi, maka berarti kalamullah an-nafsi bisa terbagi-bagi menjadi sebagian-sebagian. Dan ini menumbangkan aqidah Asyairoh yang meyakini bahwa kalamullah an-Nafsi tidak menerima pembagian dan parsial.

    Kalau al-Qur’an adalah ungkapan dari kalamullah an-Nafsi, lantas kenapa dalam al-Qur’an begitu banyak huruf-huruf terputus-putus di awal-awal surat yang tidak mengungkapkan makna tertentu?. Seperti aliif laam miim, shood, Qoof, nuun, dll, maka ini tentu bukan bahasa ungkapan. Karena ungkapan/ibarat dari sesuatu harusnya jelas. Karena tujuan dari ungkapan adalah penafsiran makna dari kalam nafsi, maka seharusnya ungkapan tersebut dipahami maknanya dengan kesepakatan

    Jika kalamullah an-nafsi qodim dan tidak pernah mengalami perubahan dan tidak bisa dibagi-bagi, lantas kenapa ungkapannya (yaitu al-Qur’an) bisa mengalami nasikh dan mansukh?, bahkan ada ayat-ayat yang tadinya dibaca sebagai al-Qur’an kemudian dimansukhkan sehingga tidak dicantumkan lagi sebagai Al-Qur’an?.

    Jika al-Qur’an hanyalah ibarat/ungkapan maka seharusnya tidak mengapa al-Qur’an diriwayatkan dengan makna, dan tidak harus dengan huruf-hurufnya, yang penting maknanya sama. Bahkan seharusnya boleh al-Qur’an dibaca dengan bahasa yang lain dan tidak harus bahasa Arab.

    Asyairoh meyakini bahwa Allah memahamkan kalaam nafsiNya kepada Muhammad. Nah pertanyaannya, apakah Allah memahamkan seluruh kalaf nafsiNya kepada Muhammad, atau sebagian kalam nafsiNya?. Jika Allah memahamkan seluruh kalaf nafsiNya yang tidak terbagi-bagi kepada Muhammad, berarti Muhammad ilmunya sama dengan ilmu Allah, karena ia memahami seluruh kalam nafsiNya Allah. Bahkan Nabi juga mengetauhi ilmu ghoib sama dengan Allah, dan ini jelas merupakan kekufuran. Namun jika Muhammad hanya dipahamkan sebagian kalam nafsiNya maka ini melazimkan kalam nafsiNya Allah tidak merupakan kesatuan, tapi bisa dibagi-bagi, dan ini berarti menumbangkan aqidah asyairoh.

    Padahal ayat tegas menjelaskan bahwa para Rasul tidak mengetahui seluruh yang di jiwa Allah.

Nabi Isa ‘alaihis salam berkata :

تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

“Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib” (QS Al-Maidah : 116)

Berikut syubhat-syubhat kaum Asya’iroh yang menyatakan bahwa al-Qur’an yang kita baca adalah makhluk.

Syubhat Pertama : Kalau Allah berbicara dengan suara maka berarti menyamakan suara Allah dengan suara makhluk,

Bantahan :

Pertama : Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah berbicara/berfirman dengan suara maka sangatlah banyak sebagaimana telah lalu.

Kedua : Persangakaan Asyairoh kalau Allah berbicara/berfirman dengan huruf dan bahasa dan suara berarti seperti makhluk ini adalah persangkaan yang keliru dan telah dibantah oleh para ulama sejak dahulu. Karena bid’ah ini sudah muncul sejak dahulu. Berikut bantahan al-Imam Al-Bukhari rahimahullah. Beliau menjelaskan jika firman Allah dengan suara maka tidak melazimkan bahwa suara Allah seperti suara makhluk, sebagaimana pendengaran dan penglihatan Allah tidak seperti makhluk dan sebagaimana dzat Allah tidak seperti dzat makhluk : Al-Imam Al-Bukhari (wafat 256 H) berkata :

وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَادِي بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ، فَلَيْسَ هَذَا لِغَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ذِكْرُهُ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: ” وَفِي هَذَا دَلِيلٌ أَنَّ صَوْتَ اللَّهِ لَا يُشْبِهُ أَصْوَاتَ الْخَلْقِ، لِأَنَّ صَوْتَ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ يُسْمَعُ مِنْ بُعْدٍ كَمَا يُسْمَعُ مِنْ قُرْبِ، وَأَنَّ الْمَلَائِكَةَ يُصْعَقُونَ مِنْ صَوْتِهِ، فَإِذَا تَنَادَى الْمَلَائِكَةُ لَمْ يُصْعَقُوا، وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {فَلَا تَجْعَلُوا لِلِّهِ أَنْدَادًا} فَلَيْسَ لِصِفَةِ اللَّهِ نِدٌّ، وَلَا مِثْلٌ، وَلَا يوجدُ شَيْءٌ مِنْ صِفَاتِهِ فِي الْمَخْلُوقِينَ “

“Dan sesungguhnya Allah menyeru dengan suara yang didengar orang orang yang jauh sama sebagaimana didengar oleh orang yang dekat. Dan seperti ini tidak bisa untuk selain Allah. Dan ini adalah dalil bahwasanya suara Allah tidak seperti suara-suara makhluk. Karena suara Allah didengar oleh orang yang jauh sebagaimana pendengaran orang yang dekat. Jika para malaikat mendengar suara Allah maka mereka pingsan, dan jika para malaikat –diantara mereka- saling memanggil maka mereka tidak pingsan. Dan Allah telah berfirman

فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا

“Karena itu janganlah kamu Mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah” (QS Al-Baqoroh : 22)

Maka tidak ada tandingan bagi sifat Allah, dan juga tidak ada yang menyamai, dan tidak ada satu sifat Allah pun yang ada pada para makhluk” (Kholqu Af’aalil ‘Ibaad hal 91-92).

Al-Imam Al-Bukhari menjelaskan poin perbedaan suara Allah dengan suara makhluk diantaranya :

    Suara Allah didengar sama antara yang jauh maupun yang dekat, dan ini berbeda dengan suara manusia

    Suara Allah kalau didengar para malaikat maka merekapun pingsan. Berbeda dengan suara malaikat, takala malaikat berbicara saling mendengar suara diantara mereka maka mereka tidaklah pingsan.

Syubhat Kedua : Kalau Allah berbicara dengan suara maka melazimkan Allah membutuhkan tempat keluar suara, pita suara, udara, dll

Bantahan :

  • Pertama : Itu semua menjadi lazim jika yang dimaksud adalah suara makhluk yang dikenal oleh manusia, adapun suara Allah maka berbeda dan tidak lazim.

Ibnu Hajar berkata :

فَمَنْ مَنَعَ قَالَ إِنَّ الصَّوْتَ هُوَ الْهَوَاءُ الْمُنْقَطِعُ الْمَسْمُوعُ مِنَ الْحَنْجَرَةِ وَأَجَابَ مَنْ أَثْبَتَهُ بِأَنَّ الصَّوْتَ الْمَوْصُوفَ بِذَلِكَ هُوَ الْمَعْهُودُ مِنَ الْآدَمِيِّينَ كَالسَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَصِفَاتُ الرَّبِّ بِخِلَافِ ذَلِكَ فَلَا يَلْزَمُ الْمَحْذُورُ الْمَذْكُورُ مَعَ اعْتِقَادِ التَّنْزِيهِ وَعَدَمِ التَّشْبِيهِ وَأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ الْحَنْجَرَةِ فَلَا يَلْزَمُ التَّشْبِيهَ

“Adapun suara maka barang siapa yang melarang (sifat suara bagi Allah) beralasan bahwa suara adalah aliran nafas yang terhenti yang terdengar dan keluar dari kerongkongan. Maka orang yang menetapkan sifat suara menjawab dengan dalih bahwasanya suara yang sifatnya demikian adalah suara yang dikenal dari para manusia. Sebagaimana pendengaran dan penglihatan. Dan sifat-sifat Ar-Robb berbeda dengan itu semua dan tidaklah melazimkan adanya perkara yang disebutkan yang dilarang tersebut jika disertai keyakinan tanzih (pensucian sifat Allah dari kekurangan-pen) dan tidak adanya tasybih (menyamakan dengan makhluk-pen). Dan suara bisa keluar tanpa kerongkongan, sehingga tidak melazimkan tasybih.” (Fathul Baari 13/460)

  • Kedua : Ternyata makhluk juga ada yang bisa mengeluarkan suaranya tanpa pita suara dan rongga suara. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan bahwa ada batu yang pernah memberi salam kepadanya?. Beliau berkata :

إني لأعرف حجراً بمكة كان يسلِّم علي قبل أن أُبْعَثُ إِنِّي لأعرفه الآنَ

“Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah pernah memberi salam kepadaku sebelum aku diangkat menjadi Nabi, dan sungguh aku mengetahuinya sekarang” (HR Muslim No. 2277)

Bukankah makanan pernah bertasbih dihadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?, Ibnu Mas’ud berkata :

ولقد كُنَّا نَسْمَعُ تَسْبِيْحَ الطَّعَامِ وَهُوَ يُؤْكَلُ

“Dan sungguh kami mendengar tasbih makanan padahal makanan tersebut sedang dimakan” (HR Al-Bukhari No. 3579)

Dalam riwayat yang lain :

كُنَّا نَأْكُلُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَنَحْنُ نَسْمَعُ تَسْبِيْحَ الطَّعَامِ

“Kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami mendengar tasbihnya makanan” (Lihat Fathul Baari 6/592)

Bukankah para sahabat mendengar suara tangisan batang korma tatkala ditinggal oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Ibnu Umar berkata ;

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَخْطُبُ إِلَى جِذْعٍ فَلَمَّا اتَّخَذَ الْمِنْبَرَ تَحَوَّلَ إِلَيْهِ فَحَنَّ الْجِذْعُ فَأَتَاهُ فَمَسَحَ عَلَيْهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah di batang kurma, tatkala dibuat mimbar dan Nabi ke mimbar maka batang kurma tersebut terisak, lalu Nabi ke batang tersebut lalu mengusapnya’ (HR Al-Bukhari No. 3583)

Jika makhluk saja bisa bersuara tanpa rongga dan tanpa pita suara maka bagaimana lagi dengan Allah sang Maha Pencipta?. Bukankah pada hari kiamat kaki, tangan, kulit, dan jari bisa berbicara?

Syubhat ketiga : Kalau Allah berbicara dengan huruf maka berarti Allah menerima pembagian, padahal Allah tidak bisa dibagi-bagi.

Bantahan :

  • Pertama : Mana dalil bahwasanya firman Allah tidak boleh terbagi-bagi sama sekali?. Terserah Allah membagi firmanNya berbicara sebagian pada suatu waktu dan berbicara dengan topik dan pembicaraan yang lain pada waktu yang lain?. Kenapa tidak boleh?. Bukankah Allah maha berbicara?. Allah berbicara dengan Nabi Musa, bahkan berdialog dengan Nabi Musa, maka pembicaraan Allah terbagi-bagi, bertahap sehingga terjadi dialog dan sahut menyahut dengan Nabi Musa ‘alaihis salam?

Bukankah Allah jika berkehendak sesuatu maka Allah mengatakan “Kun Fayakun”, berarti setiap kehendak yang berbeda maka Allah mengucapkan “Kun Fayakun”, bukankah ini berarti Allah terbagi-bagi kalamNya?

Yang tidak boleh jika kita mengatakan bahwa zat Allah terbagi-bagi, menjadi ganda atau lebih, memiliki anak atau istri. Adapun sifat Allah terbagi-bagi maka tidak ada larangan, bukankah sifat-sifat Allah banyak?, bukankah sifat-sifat tersebut berbeda-beda? Apakah ini berarti terbagi-bagi yang dilarang?.

Jadi kaum Asyairoh terjebak dengan logika filsafat mereka “Allah tidak boleh terbagi-bagi” sehingga tidak bisa masuk akal mereka jika firman Allah terangkai atas suara dan huruf-huruf.

  • Kedua : Kaum Asyairoh juga terjatuh pada apa yang mereka lari darinya -sebagaimana telah lalu penjelasan bantahan secara global-.  Karena mereka meyakini bahwa at-Taurot dan Injil adalah ungkapan dari kalaam Allah yang qodiim? (yang kalam yang qodim tersebut satu kesatuan tidak terbagi-bagi dan tidak berubah-rubah). Demikian pula dengan al-Qur’an adalah ungkapan dari kalam Allah yang qodim tersebut. Nah yang menjadi pertanyaan, apakah al-Qur’an tersebut adalah ungkapan dari seluruh kalam Allah yang qodim tersebut? Ataukah sebagian dari kalaam yang qodim tersebut?

    Kalau mereka berkata al-Qur’an adalah ibarat/ungkapan dari seluruh kalaam qodiim tersebut berarti kalam Allah terbatas dong? Karena ungkapannya terbatas?.

    Kalau mereka (Asyairoh) berkata bahwa al-Qur’an adalah ungkapan dari sebagian kalam Allah yang qodim, maka berarti mereka terjatuh dalam apa yang mereka lari darinya !

Baca juga: Al-Qur'an adalah kalamullah, bukan makhluq DAN ATAU Kemuliaan Al-Qur'an #1 DAN ATAU Kemuliaan Al-Qur'an #2

Sumber Kedua

 

KAIDAH KETIGA: 

Kaidah tentang Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

1. Seluruh Sifat Allah adalah tinggi, penuh dengan kesempurnaan dan sanjungan.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan hanya kepunyaan Allah-lah matsalul a’la (Sifatyang Maha Tinggi).” (QS. An Nahl: 60). Yang dimaksud matsalul a’la/Sifat-Sifat yang paling tinggi adalah sifat yang paling sempurna. Di dalam kaidah bahasa Arab mendahulukan ungkapan yang seharusnya ditaruh di belakang (yaitu Lillaahi-Hanya kepunyaan Allah-pent) memiliki fungsi pembatasan dan pengkhususan. Sehingga seolah-olah Allah Ta’ala membatasi sifat-sifat yang paling sempurna itu hanya ada pada-Nya dan Dia Mengistimewakan Sifat tersebut khusus bagi Diri-Nya, inilah gaya bahasa Al Qur’an yang sangat indah!!

Rabb Sesembahan yang berhak menerima peribadahan pasti memiliki Sifat-Sifat yang kesempurnaan-Nya mencapai puncak tertinggi diantara segala macam sifat kesempurnaan. Sebagaimana Allah telah menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap berhala-berhala dengan cara mensifati mereka dengan sifat-sifat yang penuh kekurangan. Allah Ta’ala berfirman, “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi madharat kepada kamu?” (QS. Al Anbiyaa’: 66). Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a)nya sampai hari kiamat dan mereka (sesembahan selain Allah-pent) lalai dari (memperhatikan) do’a mereka.” (QS. Al Ahqaaf: 5). Allah mensifati berhala-berhala itu dengan ketidakmampuan mereka dalam memberikan manfaat dan menimpakan madharat, serta ketidakmampuan mereka mengabulkan permintaan dan justru lalai dari do’a yang mereka serukan.

Semua Sifat Allah adalah sifat kesempurnaan. Dalam penetapannya, sifat terbagi menjadi beberapa bagian:

  • Sifat yang menunjukkan kesempurnaan secara mutlak. Sifat semacam ini ditetapkan pasti dipunyai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
  • Sifat yang menunjukkan kekurangan secara mutlak. Sifat semacam ini tidak mungkin dipunyai oleh Allah Ta’ala.
  • Sifat yang apabila ditinjau dari suatu keadaan menunjukkan kesempurnaan dan apabila ditinjau dari keadaan yang lain justru menunjukkan kekurangan. Sifat semacam ini dinisbatkan kepada Allah dengan diiringi taqyid/ikatan makna dalam rangka menampakkan Kekuasaan Allah membalas dengan jenis balasan yang serupa dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia, maka dalam konteks seperti ini sifat tersebut menjadi sifat kesempurnaan. Sifat yang semacam ini misalnya Al Makr (makar), Al Khidaa’ (tipu daya), Istihzaa’ (Mengolok-olok) dan Al Kaid (memperdaya). Terhadap sifat-sifat semacam ini kita katakan, Allah berkuasa membalas makar para pembuat makar, Allah mampu membalas tipu daya para pembuat tipu daya,… sehingga kita tidak boleh mensifati Allah dengan sifat makar dan tipu daya, akan tetapi kita juga tidak diperbolehkan menolaknya namun sifat semacam ini hanya boleh ditetapkan (dengan diiringi taqyid/ikatan makna-pent) dalam konteks pembalasan.

Faidah:

Apakah semua sifat kesempurnaan yang disandang oleh Allah Ta’ala juga menjadi sifat kesempurnaan jika disandang oleh makhluk? Dan apakah semua sifat kekurangan yang tidak boleh dinisbatkan kepada Allah juga menjadi sifat kekurangan jika disandang oleh makhluk?

Jawabnya:

Tidaklah demikian. Contohnya sifat takabbur/sombong adalah sifat kesempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla. Namun sifat ini justru akan menjadi cela apabila dipunyai oleh makhluk. Contoh lainnya : makan, minum, menikah adalah sifat kesempurnaan pada diri makhluk akan tetapi sifat tersebut berubah menjadi cela apabila dinisbatkan kepada Diri Allah Ta’ala. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita menetapkan kesempurnaan secara mutlak terhadap Diri Allah Ta’ala. Serta kita wajib mensucikan-Nya dari cela secara mutlak.

2. Sifat-Sifat Allah terbagi 2: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.

Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang disebutkan di dalam nash-nash Al Kitab dan As Sunnah ada 2 macam yaitu:

Sifat Tsubutiyah: seluruh Sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi Diri-Nya sendiri. Atau Sifat Allah yang ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan sifat kesempurnaan dan sanjungan bagi Allah seperti contohnya pengetahuan (al ‘ilmu), pendengaran (as sam’u), kekuasaan (al qudrah), berbicara (al kalaam), bersemayam (istiwa’), turun (nuzul), dua tangan (yadain)… dst. Sifat-sifat ini semuanya kita tetapkan sesuai dengan hakikatnya yang layak bagi Allah ‘Azza wa Jalla.

Sifat Salbiyah: Sifat yang ditiadakan dari Diri Allah oleh Allah Ta’ala sendiri atau ditiadakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat yang ditiadakan ini adalah sifat kekurangan/cela, contohnya kematian (al maut), bodoh (al jahl) dan lemah (al ‘ajz) dst.

Ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmati aku dan kamu- bahwa kita tidak diperbolehkan mensifati Allah Ta’ala dengan peniadaan semata sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlu bida’ wal ahwaa’ (para penyeru bid’ah dan pengekor hawa nafsu-pent) yang telah mensifati Allah dengan semata-mata peniadaan. Perbuatan mereka itu bukanlah sanjungan bagi Allah, ini didasari 3 alasan yang disebutkan oleh Syaikh Al Utsaimin rahimahullahu Ta’ala dalam Al Qawaa’idul Mutsla. Beliau menerangkan:

Peniadaan semata menunjukkan tidak adanya sesuatu. Sedangkan sesuatu yang tidak ada bukanlah apa-apa, sehingga dia tidak bisa disebut sempurna.

Peniadaan suatu perkara terkadang terjadi karena memang sesuatu yang disifati tidak bisa menerima pensifatan tersebut. Seperti jika anda berkata, “Tembok itu tidak berbuat zhalim.” Pensifatan semacam ini tidaklah menunjukkan kesempurnaan.

Peniadaan sesuatu bisa jadi karena ketidakmampuan yang ada pada sosok yang disifati. Peniadaan semacam ini bahkan menunjukkan kekurangan.

Oleh karena itulah dalam meniadakan sifat dari Diri Allah harus terkandung 2 perkara: Pertama, menolak sifat itu dipunyai oleh Allah Ta’ala dan Kedua, menetapkan lawan dari sifat itu sebagai bukti kesempurnaan Allah Ta’ala.

Contohnya sifat Al ‘Ajz/lemah, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.” (QS. Faathir: 44). Berdasarkan ayat ini kita menolak keberadaan sifat lemah pada Diri Allah Ta’ala dan juga kita harus menetapkan kesempurnaan sifat lawannya yaitu ilmu dan qudrah yang Maha sempurna. Contoh yang lain sifat Zhulm/aniaya, Allah Ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu tidak menganiaya/menzhalimi seorang juapun.” (QS. Al Kahfi: 49). Berdasarkan ayat ini kita menolak sifat zhulm/aniaya ada pada Diri Allah lalu kita tetapkan kesempurnaan lawannya yaitu keadilan Allah yang Maha sempurna.

3. Sifat Tsubutiyah terbagi 2: Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi’liyah.

Sifat-Sifat Allah Ta’ala yang ditetapkan bagi-Nya di dalam Al Kitab dan As Sunnah bisa dibagi menjadi dua:

A. Sifat Dzatiyah

Yaitu sifat yang senantiasa melekat pada Diri Allah, Sifat-Sifat yang tidak terpisahkan dari Dzat Ilahiyah. Sifat Dzatiyah ini pun terbagi 2 bila dilihat dari kandungan isinya:

A1. Sifat Dzatiyah Ma’nawiyah

Yaitu sifat yang menunjukkan kepada sesuatu yang maknawi seperti Hidup (al hayat), Mampu (qudrah), Bijaksana (hikmah), Mengetahui (al ‘ilmu) dst.

A2. Sifat Dzatiyah Khabariyah

Yaitu Sifat-Sifat Allah yang padanan namanya pada makhluk merupakan bagian dan anggota badan, seperti dua Tangan, Wajah, Kaki, Betis dan lain sebagainya.

B. Sifat Fi’liyah

Yaitu Sifat-Sifat yang kemunculannya berkaitan erat dengan Kehendak Allah. Sifat semacam ini terbagi menjadi dua berdasarkan sebab yang terkait dengannya:

  • Sifat Allah yang sebabnya kita ketahui, seperti sifat Ridha.
  • Sifat Allah yang tidak memiliki sebab yang diketahui, seperti sifat Istiwa’/bersemayam.

Faidah:

Diantara Sifat-Sifat Allah ada Sifat yang menjadi Sifat Dzatiyah sekaligus juga sebagai Sifat Fi’liyah berdasarkan dua sudut pandang tersebut, contohnya sifat Al Kalaam/berbicara. Sifat berbicara ini termasuk Sifat Dzatiyah bila ditinjau dari asal keberadaannya, artinya Dzat Allah pasti sanggup berbicara. Sedangkan jika ditinjau dari satu demi satu peristiwa terjadinya pembicaraan maka Sifat ini termasuk Sifat Fi’liyah, artinya Allah Ta’ala dapat berbicara kapanpun Dia kehendaki.

4. Setiap Sifat Allah dihadapkan pada 3 pertanyaan.

  1. Apakah sifat tersebut hakiki? Apa alasannya?
  2. Bolehkah melakukan takyif terhadap Sifat tersebut? Kenapa?
  3. Apakah Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk? Kenapa?

Jawaban terhadap pertanyan-pertanyaan ini adalah:

  1. Ya, Sifat-Sifat Allah adalah sesuatu yang hakiki. Karena hukum asal dalam penggunaan lafazh itu ialah memaknainya secara hakiki yang bisa langsung dipahami dan dapat dilihat dari lafazh tersebut.
  2. Tidak boleh melakukan takyif terhadap Sifat Allah, karena kita tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah demikian pula kita tidak bisa mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya. Hal itu disebabkan perbincangan masalah Sifat serupa dengan perbincangan masalah Dzat.
  3. Sifat-Sifat Allah Ta’ala tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Makhluk adalah dzat yang penuh dengan kekurangan bagaimana mungkin bisa serupa dengan Rabb yang Maha sempurna?

Beberapa Faidah Yang Bisa Dipetik

  • Faidah Pertama:

Takyif adalah menyebutkan kaifiyah Sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan bentuk tertentu yang namanya serupa. Contohnya jika anda mengatakan, “Aku punya buku yang sifatnya demikian dan demikian.” Kalau perkataan ini anda teruskan dengan ungkapan, “(Bukuku) seperti bukumu”, maka inilah yang disebut dengan tamtsil. Tamtsil (terhadap Sifat Allah -pent) itu maksudnya menetapkan Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk. Contohnya pendapat Mumatstsilah (kaum yang menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-pent) yang mengatakan, “Tangan Allah seperti tanganku.”

Dengan demikian tamtsil adalah tindakan mengait-ngaitkan Sifat Allah dengan sifat makhluk. Adapun takkyif tidak diiringi dengan sikap mengait-ngaitkan (menyerupakan-pent). Oleh karena itu membayangkan/berkhayal tentang bentuk/cara dari Sifat-Sifat Allah termasuk tindakan takyif.

  • Faidah Kedua:

Munculnya takyif akibat pertanyaan ‘Bagaimana?’ Kaum ahlul ahwaa’/pengekor hawa nafsu sering mempertanyakan (tentang kaifiyah Sifat Allah -pent) dengan ungkapan semacam ini. Apabila salah seorang ahlul bid’ah mempertanyakan, “Bagaimana kaifiyah Sifat ini dan itu?” Maka hendaklah anda memberikan salah satu jawaban diantara beberapa jawaban berikut:

Dengan jawaban seperti yang disampaikan oleh Imam Malik dan gurunya Rabi’ah. Suatu saat mereka ditanya tentang kaifiyah istiwa’ (cara Allah bersemayam-pent). Beliau menjawab: “Kaifiyahnya tidak bisa dijangkau oleh akal, sedangkan makna istiwa’ bukanlah sesuatu yang asing, mengimaninya adalah kewajiban adapun mempertanyakan (kaifiyahnya) termasuk bid’ah.”

Dengan balik bertanya kepadanya mengenai bagaimana (kaifiyah) Dzat Allah Ta’ala. Apabila dia mempertanyakan misalnya, “Bagaimanakah Wajah Allah?, bagaimana Turun-Nya?, bagaimana Tertawa-Nya?, dst.” Maka tanyakanlah kepadanya, “Bagaimanakah Dzat Allah?” atau “Bagaimanakah wujud-Nya?” Kalau dia mengatakan, “Aku tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah”, maka katakanlah kepadanya, “Begitu pula saya tidak mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya, akan tetapi saya menetapkan Sifat-Sifat tersebut dipunyai Allah sesuai dengan keagungan-Nya yang Maha Tinggi.” Ketahuilah bahwa jawaban ini dibangun di atas kaidah ‘Pembicaraan tentang Sifat serupa dengan pembicaraan tentang Dzat’.

Atau dengan jawaban, “Sesungguhnya Allah telah memberitakan kepada kita Sifat ini dan itu, dan Dia juga memberitahu kita bahwa Sifat-Sifat itu adalah milik-Nya. Sedangkan Dia tidak memberitahu kita tentang kaifiyah Sifat-Sifat tersebut. Kaum salaf/generasi Sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- pun tidak pernah mempertanyakan hal ini, maka sudah sepantasnya kita juga diam (tidak mempersoalkan kaifiyahnya-pent) sebagaimana mereka.”

  • Faidah Ketiga:

Terdapat perbedaan antara takyif dan kaif/kaifiyah. Anda tidak boleh mengatakan, “Saya menetapkan Sifat Allah tanpa kaifiyah” karena Sifat-Sifat Allah Ta’ala mempunyai kaifiyah walaupun bagaimananya itu tidak kita ketahui. Maka tetapkanlah Sifat-Sifat Allah dan tiadakanlah pengetahuan tentang bagaimana kaifiyah-nya sebab tidak ada seorangpun yang mengetahui kaifiyah Sifat Allah selain Allah Ta’ala. Dengan demikian jelaslah perbedaan antara ‘peniadaan kaifiyah‘ dengan ‘peniadaan ilmu tentang kaifiyah‘. Peniadaan yang pertama (yaitu menolak kaifiyah-pent) tergolong tindakan ta’thil/penolakan Sifat, cermatilah !!!

  • Faidah Keempat:

Ketahuilah -semoga Allah menganugerahkan ilmu kepadaku dan kepadamu- sebenarnya ungkapan ‘menolak tamtsil‘ itu lebih utama untuk dipakai daripada ungkapan ‘menolak tasybih‘. Hal ini didukung beberapa alasan:

Kata tamtsil/permisalan itulah yang ditolak oleh nash Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Tiada sesuatu pun yang serupa/semisal dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Sedangkan kata tasybih bukan (istilah) yang dinafikan oleh nash tersebut.

Meniadakan tasybih secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya ta’thil/penolakan Sifat. Karena tidak ada dua dzat kecuali pasti mempunyai qadrun musytarak/kadar minimal keseragaman yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki kesamaan pada kadar tersebut, paling tidak kesamaan pada sisi makna asalnya.

Ahlul bid’ah semacam Jahmiyah dan Mu’aththilah terkadang menggunakan istilah Musyabbihah (pelaku tasybih) untuk menjuluki orang-orang yang menetapkan Sifat Allah; seperti sifat Ilmu, Qudrah dst. Oleh karena itulah sebaiknya kita menghindari kesalahpahaman dengan cara memakai istilah ‘tamtsil’ sebagai pengganti istilah ‘tasybih’.

____

Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.