Type Here to Get Search Results !

 


PEMBAGIAN TAUHID MENJADI 3 IDE SIAPA?


Sebagaimana telah kami jelaskan dalam tulisan yang telah diterbitkan sebelumnya, bah wa menjadi kewajiban manusia untuk beriman dengan tiga jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah (tauhid ibadah) dan tauhid asma’ wa shifat [1, 2]. Pengertian masing-masing tauhid tersebut pun telah kami jelaskan dalam tulisan-tulisan tersebut.

Pembagian tauhid menjadi tiga, tidak ada dalilnya?

Sebagian orang menyangka bahwa pembagian tauhid menjadi tiga ini tidak memiliki dalil dari Al-Qur’an dan/atau As-Sunnah, sehingga mereka pun mengingkarinya. Mereka menyangka bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu mengada-ada sehingga tidak perlu diikuti.

Anggapan dan persangkaan ini keliru dan tidak tepat. Pembagian tauhid menjadi tiga tidaklah semata-mata hanya berdasarkan pendapat atau logika manusia; atau hanya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang (ulama) saja. Akan tetapi, kesimpulan bahwa terdapat tiga jenis tauhid itu disimpulkan dari telaah dan kajian terhadap dalil-dalil dari Al-Qur’an, atau dikenal dengan istilah “istiqra’”.

Yang paling mudah adalah ketika kita membaca surat Al-Fatihah. Dalam surat Al-Fatihah, terdapat isyarat tentang tiga jenis tauhid.

Dalam firman Allah Ta’ala,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah [1]: 1)

terdapat isyarat tentang tauhid rububiyyah. Karena dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala tetapkan rububiyah-Nya atas seluruh makhluk.

Dalam firman Allah Ta’ala,

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ؛ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 2-3)

terdapat isyarat tentang penetapan tauhid asma’ wa shifat. Karena dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menetapkan untuk diri-Nya dua sifat yang mulia, yaitu sifat ar-rahmah dan al-mulk; dan juga Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya nama yang mulia, yaitu “Ar-Rahmaan”; “Ar-Rahiim”; dan “Al-Maalik”.

Sedangkan dalam firman Allah Ta’ala,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 4)

terdapat isyarat tentang tauhid ibadah. Karena ayat tersebut menunjukkan kewajiban memurnikan ibadah dan isti’anah (meminta pertolongan) hanya kepada Allah Ta’ala. Dan hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah makna dan kandungan dari tauhid ibadah.

Demikian pula dalam surat pendek yang kita hapal dan sering kita baca, yaitu surat An-Naas, juga terdapat tiga jenis tauhid.

Firman Allah Ta’ala,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

“Katakanlah, “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.” (QS. An-Naas [114]: 1)

berisi penetapan adanya tauhid rububiyyah.

Firman Allah Ta’ala,

مَلِكِ النَّاسِ

“Raja manusia.” (QS. An-Naas [114]: 2)

berisi penetapan adanya tauhid asma’ wa shifat.

Sedangkan dalam firman Allah Ta’ala,

إِلَهِ النَّاسِ

“Sesembahan manusia.” (QS. An-Naas [114]: 3)

berisi penetapan adanya tauhid uluhiyyah. Hal ini karena makna “ilaah” adalah “al-ma’buud”, yaitu yang disembah (sesembahan).

Demikian pula tiga macam tauhid ini kita jumpai di surat Al-Baqarah ayat 163-164. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ …

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia.“ (QS. Al-Baqarah [2]: 163)

Ayat ini berbicara tentang tauhid uluhiyyah. Makna ayat tersebut adalah “sesembahan kalian yang benar hanyalah satu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Ta’ala saja.”

Kemudian ayat,

… الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 163)

masuk dalam pembahasan tauhid asma’ wa shifat sebagaimana penjelasan dalam surat Al-Fatihah sebelumnya.

Sedangkan firman Allah Ta’ala,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah Ta’ala turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 164)

berbicara tentang tauhid rububiyyah. Allah Ta’ala sebutkan tauhid rububiyyah dalam ayat ini sebagai dalil dan bukti untuk menetapkan tauhid uluhiyyah. Maksudnya, semua yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayat tersebut adalah tanda dan bukti bahwa Allah Ta’ala saja yang berhak disembah, bukan selain-Nya, karena selain Allah Ta’ala tidaklah memiliki sifat rububiyyah.

Demikianlah kalau kita merenungkan isi dan kandungan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, maka tidak akan lepas dari tiga jenis tauhid di atas. Sehingga sebagai kesimpulan, pembagian tauhid menjadi tiga itu berdasarkan atas istiqra’ (penelitian dan telaah) dari dalil-dalil Al-Qur’an sehingga disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma’ wa shifat. [3]

Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jaami rahimahullahu Ta’ala berkata,

Dalil pembagian tauhid (menjadi tiga) ini disebut dengan al-istiqra’. Maksud al-istiqra’ adalah kita menelusuri dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kita jumpai pembicaraan tentang ketuhanan itu terbagi ke dalam tiga pembahasan ini:

  • Pertama, dalil-dalil yang menyeru hamba untuk mentauhidkan Allah Ta’ala (dalam ibadah, pent.) dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dari dalil-dalil yang mengandung makna ini, kemudian diambillah tauhid yang disebut dengan “tauhid ibadah”.
  • Kedua, dalil-dalil yang mengabarkan bahwa Allah Ta’ala yang menciptakan segala sesuatu, Dia-lah yang mengatur semua urusan, Dia-lah yang Maha memberi dan menahan (mencegah). Dari kandungan ini disebutlah “tauhid rububiyyah”.
  • Ketiga, dalil-dalil yang mensifati bahwa Allah Ta’ala itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui; atau Maha Mendengar dan Maha Melihat; atau Maha Menjaga dan Maha Bijaksana; dan penyebutan nama dan sifat Allah Ta’ala yang lainnya. Ini kemudian disebut dengan “tauhid asma’ wa shifat”.

Oleh karena itu, pembagian tauhid menjadi tiga itu tidaklah keluar dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini membantah perkataan orang-orang yang menentang bahwa pembagian tauhid menjadi tiga adalah pembagian yang baru, dan tidak ada asal usulnya.

Dalil berdasarkan al-istiqra’ itu diterima oleh para ulama. Mayoritas yang membahasnya sebagai bagian dari cara berdalil adalah para ulama ahli ushul. Demikianlah penjelasan tentang rahasia pembagian tauhid menjadi tiga macam. [4]

Membela Kalimat Tauhid dengan Mempelajari, Mengamalkan dan Mendakwahkannya

_____

Catatan kaki:

[1] https://muslim.or.id/36799-mengapa-engkau-enggan-mengenal-tuhanmu-01.html

[2] https://muslim.or.id/36804-mengapa-engkau-enggan-mengenal-tuhanmu-bag-2.html

[3] Disarikan dari kitab Duruus minal Qur’anil Kariim, hal. 21-25 karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala, penerbit Daarul ‘Ashimah KSA, cetakan pertama tahun 1421.

[4] Al-Hukmu bighairi Maa Anzalallah, hal. 80-81 karya Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas bin Naashir ‘Abdul Karim.

Sumber pertama

Tauhid menjadi tiga, tidak dikenal di masa salaf?

Sebagian orang yang lain menyangka bahwa pembagian tauhid menjadi tiga tidaklah dikenal pada masa salaf. Pembagian ini baru dikenal, menurut persangkaan mereka, pada abad ke tujuh atau delapan hijriyah, yaitu hanya dibuat-buat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala. Sebagian lagi menyangka bahwa pembagian ini baru dibuat pada abad ke dua belas atau tiga belas hijriyah, oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 1206 H), yang kemudian diberi label “Wahhabi” oleh pihak-pihak yang membenci dakwah tauhid yang beliau usung. Tidak heran jika sebagian orang menyebut pembagian tauhid menjadi tiga ini sebagai “Trilogi tauhid ala Wahabi” (??).

Klaim atau persangkaan ini tidaklah benar, dan hanyalah muncul dari orang-orang yang kurang mengetahui, kurang mengilmui, kurang membaca dan kurang menelaah kitab-kitab para ulama salaf yang ditulis jauh sebelum masa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah atau Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahumallahu Ta’ala. Hal ini karena kitab-kitab ulama salaf sebelumnya telah menyebutkan tiga macam tauhid ini, baik menyebutkan secara tegas atau menyebutkan secara isyarat.

Misalnya, Al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 150 H) berkata,

والله يدعى من أعلى لا من أسفل، لأن الأسفل ليس من وصف الربوبية و الألوهية في شيئ

“Allah Ta’ala diseru sedang Dia berada di atas, bukan di bawah. Karena posisi bawah bukanlah bagian dari sifat rububiyyah dan uluhiyyah sedikit pun.” (Al-Fiqh Al-Absath, hal. 51)

Perkataan beliau, “Allah Ta’ala diseru sedang Dia berada di atas, bukan di bawah” terdapat penetapan sifat al-‘uluw bagi Allah Ta’ala, sehingga termasuk dalam tauhid asma’ wa shifat. Setelah itu, beliau pun tegas menyebutkan tentang rububiyyah dan uluhiyyah Allah Ta’ala.

Imam Abu ‘Abdillah ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al-‘Ukbari rahimahullahu Ta’ala (Ibnu Baththah) (wafat tahun 387 H) berkata,

وَذَلِكَ أَنَّ أَصْلَ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ الَّذِي يَجِبُ عَلَى الْخَلْقِ اعْتِقَادُهُ فِي إِثْبَاتِ الْإِيمَانِ بِهِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: أَحَدُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ الْعَبْدُ ربآنِيَّتَهُ لِيَكُونَ بِذَلِكَ مُبَايِنًا لِمَذْهَبِ أَهْلِ التَّعْطِيلِ الَّذِينَ لَا يُثْبِتُونَ صَانِعًا. الثَّانِي: أَنْ يَعْتَقِدَ وَحْدَانِيَّتَهُ، لِيَكُونَ مُبَايِنًا بِذَلِكَ مَذَاهِبَ أَهْلِ الشِّرْكِ الَّذِينَ أَقَرُّوا بِالصَّانِعِ وَأَشْرَكُوا مَعَهُ فِي الْعِبَادَةِ غَيْرَهُ. وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْتَقِدَهُ مَوْصُوفًا بِالصِّفَاتِ الَّتِي لَا يَجُوزُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَوْصُوفًا بِهَا مِنَ الْعِلْمِ وَالْقُدْرَةِ وَالْحِكْمَةِ وَسَائِرِ مَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ …

“Yang demikian itu karena pokok iman kepada Allah Ta’ala yang wajib diyakini oleh seorang hamba dalam menetapkan keimanan itu ada tiga macam:

  • Pertama, seorang hamba meyakini rububiyyah Allah Ta’ala, sehingga dengan keyakinan itu dia terbedakan dengan ahlu ta’thil (yaitu, orang-orang atheis) yang tidak menetapkan adanya Sang Pencipta.
  • Kedua, meyakini keesaan Allah Ta’ala sehingga dengan keyakinan itu dia terbedakan dengan keyakinan orang-orang musyrik yang meyakini adanya pencipta (yaitu Allah Ta’ala, pent.), namun menyekutukan Allah Ta’ala dengan selain Allah Ta’ala dalam beribadah.
  • Ketiga, meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Allah Ta’ala, yaitu sifat al-‘ilmu, al-qudrah, al-hikmah, dan semua sifat-sifat yang Allah Ta’ala sebutkan sebagai sifat-Nya dalam kitab-Nya … ” (Al-Ibaanah Al-Kubraa, 6: 149)

Perkataan Ibnu Baththah di atas sangat jelas menunjukkan pembagian tauhid menjadi tiga. Dalam pembagian pertama beliau sebutkan tauhid rububiyyah, kemudian tauhid ibadah (tauhid uluhiyyah), dan terahir (ke tiga), beliau sebutkan tentang tauhid asma’ wa shifat.

Kemudian Ibnu Baththah rahimahullahu Ta’ala pun berkata,

وَلِأَنَّا نَجِدُ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ خَاطَبَ عِبَادَهُ بِدُعَائِهِمْ إِلَى اعْتِقَادِ كُلِّ وَاحِدَةٍ فِي هَذِهِ الثَّلَاثِ وَالْإِيمَانِ بِهَا

“Karena sesungguhnya kami mendapati bahwa Allah Ta’ala berbicara kepada hamba-hamba-Nya dengan menyeru mereka untuk meyakini setiap dari tiga jenis tauhid ini serta beriman dengannya.” (Al-Ibaanah Al-Kubraa, 6: 149)

Kalimat di atas jelas menunjukkan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga yang beliau sebutkan itu bersumber atau disimpulkan dari kalaamullah (Al-Qur’an).

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 321 H) juga telah mengisyaratkan pembagian tauhid ini dalam bagian muqaddimah kitab beliau yang terkenal dengan nama Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah,

نَقُولُ فِي تَوْحِيدِ اللَّهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوْفِيقِ اللَّهِ إن الله واحد لا شريك له ؛ ولا شي مثله ؛ ولا شيء يعجزه ؛ ولا إله غيره

“Kami berkata dalam mentauhidkan Allah Ta’ala, meyakini dengan hidayah taufik dari Allah Ta’ala: sesungguhnya Allah Ta’ala itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya; tidak ada satu pun yang dapat mengalahkan-Nya; dan tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain diri-Nya.”

Perkataan beliau, “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya” mencakup tiga macam tauhid. Karena Allah Ta’ala itu Maha Esa, tidak memiliki sekutu dalam hal rububiyyah, uluhiyyah, serta asma’ wa shifat.

Perkataan beliau, “tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya” ini adalah tentang tauhid asma’ wa shifat.

Perkataan beliau, “tidak ada satu pun yang dapat mengalahkan-Nya” ini adalah tentang tauhid rububiyyah.

Perkataan beliau, “tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain diri-Nya” ini adalah tentang tauhid uluhiyyah.

Pada bagian muqaddimah kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullahu Ta’ala menyebutkan bahwa aqidah yang beliau yakini dan beliau tulis itu bersumber dari para ulama terdahulu. Beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,

هذا ذكر بيان عقيدة أهل السنة والجماعة على مذهب فقهاء الملة أبي حنيفة النعمان بن ثابت الكوفي وأبي يوسف يعقوب بن إبراهيم الأنصاري وأبي عبد الله محمد بن الحسن الشيباني رضوان الله عليهم أجمعين وما يَعْتَقِدُونَ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ وَيَدِينُونَ بِهِ رَبَّ العالمين

“Ini adalah penjelasan ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, di atas madzhab para ulama, yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsaabit Al-Kuufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, semoga Allah meridhai mereka semuanya, dan prinsip-prinsip agama yang mereka yakini, yang dengan itu mereka beragama (beribadah) kepada Allah.“

Demikian pula Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusi rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 520 H) berkata dalam muqaddimah kitab beliau, Siraajul Muluuk,

وأشهد له بالربوبية والوحدانية. وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى. والصفات العلى. والنعت الأوفى. ألا له الخلق والأمر. تبارك الله رب العالمين

“Aku bersaksi kepada Allah Ta’ala dalam rububiyyah dan keesaan (dalam uluhiyyah, pent.). Dan aku bersaksi dengan yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya sendiri berupa nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang tinggi dan mulia. Milik Allah penciptaan dan pengaturan. Maha Suci Allah, Rabb semesta Alam.” (Siraajul Muluuk, 1: 3)

Bisa kita lihat bahwa beliau pun menyebutkan tiga macam tauhid dalam kalimat-kalimat di atas.

Ibnu Hibban Al-Busti rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 354 H) juga mengisyaratkan tiga macam tauhid di muqaddimah kitab beliau, Raudhatul ‘Uqalaa’,

الحمد لله المتفرد بوحدانية الألوهية المتعزز بعظمة الربوبية القائم على نفوس العالم بآجالها والعالم بتقلبها وأحوالها المان عليهم بتواتر آلائه المتفضل عليهم بسوابغ نعمائه الذي أنشأ الخلق حين أراد بلا معين ولا مشير وخلق البشر كما أراد بلا شبيه ولا نظير فمضت فيهم بقدرته مشيئته ونفذت فيهم بعزته إرادته

“Segala puji bagi Allah Ta’ala; Yang Esa dalam uluhiyyah; Yang Perkasa dengan keagungan rububiyyah; Yang menetapkan batas waktu bagi alam semesta, Yang mengetahui berbagai perubahan dan kondisinya; Yang mengaruniakan mereka dengan anugerah-Nya yang terus-menerus; Yang memberi keutamaan kepada mereka dengan berbagai nikmat-Nya; Dzat yang menciptakan makhluk ketika Dia berkehendak tanpa satu pun penolong dan pembantu; Yang menciptakan manusia sesuai dengan yang dikehendaki tanpa ada sekutu dan tandingan; seluruh masyi’ah-Nya berlaku pada mereka dengan kekuasaan-Nya dan seluruh iradah-Nya terlaksana pada diri mereka dengan kemuliaan-Nya.” (Raudhatul ‘Uqalaa’ wa Nuzhatul Fudhalaa’, 1: 14)

Sekali lagi, kalimat-kalimat di atas mengisyaratkan tiga macam tauhid yang dikenal saat ini. Setelah Ibnu Hibban Al-Busti rahimahullahu Ta’ala menyebutkan tentang uluhiyyah dan rububiyyah, beliau kemudian sebutkan beberapa sifat Allah Ta’ala seperti al-‘ilmu (mengetahui), al-qudrah (kekuasaan), al-‘izzah (perkasa), dan al-iraadah (berkehendak), yang termasuk dalam pembahasan tauhid asma’ wa shifat.

Kutipan-kutipan dari ulama salaf tentang pembagian tauhid menjadi tiga sangatlah banyak, namun kami cukupkan dengan kutipan-kutipan di atas yang kami nilai bisa mewakili. Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala menyebutkan banyak kutipan dari para ulama salaf terdahulu ketika membantah orang-orang yang mengingkari pembagian tauhid menjadi tiga macam.

Selain kutipan dari para ulama yang telah kami sebutkan di atas, beliau hafidzahullahu Ta’ala juga sebutkan para ulama yang telah mengisyaratkan dan atau menegaskan tentang tiga macam tauhid, di antaranya Al-Imam Al-Hafidz Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Yahya bin Mandah (wafat tahun 395 H) dalam kitab beliau, Kitaabut Tauhiid; Al-Imam Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habiib Al-Kuufi (wafat tahun 182 H), yaitu sahabat dari Imam Abu Hanifah; Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani Al-Maliki (wafat tahun 386 H); dan juga para ulama yang lainnya rahimahumullahu Ta’ala. [1]

Sebagai kesimpulan, pembagian tauhid menjadi tiga macam telah dikenal jauh sebelum masa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah atau Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahumallahu Ta’ala.

____

Catatan kaki:

[1] Disarikan dari kitab Al-Qaulus Sadiid fi Ar-Radd ‘ala Man Ankara Taqsiim At-Tauhiid, karya Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, penerbit Daar Ibnu ‘Affan, cetakan pertama tahun 1423.

Sumber kedua

Bukankah yang ditanyakan di alam kubur itu “Man Rabbuka?” (Siapakah Tuhanmu?)

Sebagian pihak bertanya-tanya, mengapa tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah harus dipisahkan, padahal yang ditanyakan di alam kubur nanti adalah “Man Rabbuka?” (Siapakah Tuhanmu?), bukan “Man Ilaahuka?” (Siapakah sesembahanmu?)

Jika pertanyaan kubur seperti itu, artinya dua macam tauhid itu adalah satu kesatuan, tidak perlu dipisahkan.

Jawaban atas argumentasi ini adalah bahwa istilah rububiyyah dan uluhiyyah itu terkadang disebutkan bersamaan dalam satu rangkaian kalimat. Dalam kondisi semacam ini, rububiyyah dan uluhiyyah memiliki makna yang berbeda satu sama lain. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surat An-Naas,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ

“Katakanlah, “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sesembahan manusia.” (QS. An-Naas [114]: 1-3)

Dalam kutipan ayat di atas, maka makna “Rabb” adalah raja, yang menciptakan, dan makna rububiyyah lainnya.

Sedangkan makna “ilaah” adalah “al-ma’buud” (sesembahan), satu-satunya yang berhak untuk disembah.

Kondisi yang kedua, terkadang istilah rububiyyah dan uluhiyyah itu disebutkan sendiri-sendiri, tidak digandeng satu sama lain. Dalam kondisi semacam ini, makna istilah rububiyyah dan uluhiyyah itu mencakup dua-duanya sekaligus.

Contohnya adalah pertanyaan alam kubur yang sedang kita bahas. Makna dari,

من ربك؟

(Siapakah Rabbmu), adalah:

من إلهك وخالقك؟

(Siapakah sesembahanmu dan penciptamu?)

Sehingga kata “Rabb” dalam pertanyaan kubur itu mencakup makna rububiyyah dan uluhiyyah sekaligus.

Contoh lainnya adalah firman Allah Ta’ala,

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ

“(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, “Tuhan kami hanyalah Allah”.” (QS. Al-Hajj [22]: 40)

قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ

“Katakanlah, “Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu.” (QS. Al-An’am [6]: 164)

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.” (QS. Fushshilat [41]: 30)

“Rabb” dalam ayat-ayat di atas memiliki makna uluhiyyah, karena berdiri sendiri, tidak disebutkan bersamaan dengan kata “ilaah”. [1]

Sejenis dengan ini adalah istilah “iman” dan “Islam”. Jika dua-duanya disebutkan bersamaa, maka “iman” adalah keyakinan dalam hati, sedangkan “Islam” adalah amal anggota badan. Namun jika disebutkan salah satu saja, misalnya hanya disebutkan “iman” saja, maka “iman” tersebut mencakup keyakinan hati dan amal anggota badan sekaligus.

Pertanyaan kubur bukanlah pertanyaan hapalan

Kita telah mengetahui bahwa jawaban atas pertanyaan di alam kubur nanti sangat tergantung pada amalan kita ketika di dunia. Apakah ketika kita di dunia ini menjadi hamba dan penyembah Allah Ta’ala, ataukah menjadi hamba dan penyembah selain Allah Ta’ala. Semua orang sebelum mati, bahkan anak SD sekalipun, sudah hafal jawaban atas pertanyaan-pertanyaan alam kubur. Akan tetapi, pertanyaan di atas bukanlah ujian hapalan. Bisa jadi seseorang sangat hapal jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, namun ketika di alam kubur nanti dia tidak mampu menjawabnya. Karena sekali lagi, kemampuan kita menjawab pertanyaan di atas sangat tergantung dengan amalan kita ketika di dunia.

Pertanyaan “man rabbuka” bukanlah untuk menguji apakah seseorang meyakini tauhid rububiyyah ataukah tidak. Karena rububiyyah Allah Ta’ala itu sudah menjadi fitrah manusia, bahkan orang-orang kafir musyrik sekalipun. Jika pertanyaan tersebut untuk menguji keimanaan terhadap tauhid rububiyyah, tentu kaum musyrikin akan mampu menjawabnya.

Misalnya, dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ’Allah’. Maka katakanlah, ’Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’” (QS. Yunus [10]: 31)

Oleh karena itu, mencukupkan diri dengan meyakini rububiyyah Allah Ta’ala, tidaklah menyelamatkan seseorang dari neraka dan tidaklah memasukkan seseorang ke dalam agama Islam. Buktinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi kaum musyrikin Arab, meskipun mereka meyakini rububiyyah Allah Ta’ala. Rasulullah perangi mereka sampai mereka meyakini dan menetapkan tauhid uluhiyyah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَمَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي نَفْسَهُ وَمَالَهُ، إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan ‘laa ilaaha illallah’ (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah). Siapa saja yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah, sungguh terjagalah nyawa dan harta mereka, kecuali karena hak (Islam). Sedangkan perhitungannya ada di sisi Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 2946 dan Muslim no. 21)

Jika tauhid rububiyyah itu sudah terpatri dalam fitrah manusia, lalu buat apa Allah Ta’ala menyebutkan tauhid rububiyyah dalam Al-Qur’an?

Jawabannya adalah keyakinan mereka tentang tauhid rububiyyah itu Allah Ta’ala jadikan sebagai dalil dan bukti untuk menetapkan tauhid uluhiyyah. Maksudnya, bagaimana mungkin kalian orang-orang musyrik meyakini rububiyyah Allah Ta’ala, namun kalian tidak menetapkan hak uluhiyyah hanya untuk Allah Ta’ala semata?

Oleh karena itu, kita jumpai perintah pertama dalam Al-Qur’an adalah perintah untuk mentauhidkan Allah dalam uluhiyyah, kemudian Allah Ta’ala sebutkan alasannya yaitu adanya keyakinan terhadap rububiyyah Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ؛ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 21-22)

Dalam ayat di atas, setelah Allah Ta’ala menyebutkan perintah untuk menyembah-Nya (tauhid uluhiyyah), Allah Ta’ala menyebutkan alasannya, yaitu karena kalian telah meyakini tauhid rububiyyah, dengan meyakini Allah Ta’ala sebagai pencipta manusia, pencipta bumi dan yang menurunkan hujan dari langit.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala mempertanyakan orang-orang yang memalingkan ibadah kepada selain Allah Ta’ala, padahal sesembahan mereka itu tidak memiliki andil sedikit pun dalam penciptaan. Perbuatan mereka itu tidaklah konsisten dan sangat kontradiktif. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الْأَرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ ائْتُونِي بِكِتَابٍ مِنْ قَبْلِ هَذَا أَوْ أَثَارَةٍ مِنْ عِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al-Qur’an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 4) [2

_____

Footnote:

[1] Lihat kitab Al-Irsyaad ila Shahiihil I’tiqaad, ha;. 27-28 karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala (penerbit Maktabah Salsabila).

[2] Lihat kitab Duruus minal Qur’anil Kariim, karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala, hal. 25-26 (penerbit Daarul ‘Ashimah KSA, cetakan pertama tahun 1421).

Sumber ketiga


Tauhid hakimiyyah, bagaimanakah posisinya?

Sebagian orang zaman ini membagi tauhid menjadi empat macam, yaitu tauhid rububiyyah; tauhid uluhiyyah, tauhid al-asma’ wa ash-shifat, dan tauhid hakimiyyah (tauhid mulkiyyah). Mereka beralasan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu hanyalah sekedar kesepakatan (istilah) sekelompok orang (yaitu para ulama), bukan asli pembagian yang disebutkan dari syariat, sehingga tidak masalah jika ditambah lebih dari tiga.

Maka kita katakan kepada mereka bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu tidaklah semata-mata kesepakatan para ulama. Akan tetapi, pembagian tersebut berdasarkan penelitian dan telaah terhadap dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, sebagaimana yang telah kami bahas di seri sebelumnya. Para salaf ketika membagi tauhid menjadi tiga macam, mereka simpulkan macam-macam tauhid tersebut dari dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah.

Adapun hakimiyyah, maka itu benar dan tidak salah. Karena wajib atas kita setiap muslim untuk menjadikan syariat Allah Ta’ala sebagai satu-satunya sumber hukum. Bahwa hukum itu hanya milik Allah Ta’ala, sehingga hanya hukum Allah Ta’ala yang wajib dilaksanakan dan ditaati oleh manusia, dan wajib berpaling dari semua hukum yang bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala.

Akan tetapi, hal ini telah masuk dalam tauhid rububiyyah atau tauhid uluhiyyah, jika dilihat dari dua tinjauan berikut ini:

Tinjauan pertama, jika ditinjau dari bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk membuat dan menetapkan hukum syariat, maka hal ini telah termasuk dalam makna tauhid rububiyyah. Hal ini karena di antara cakupan pengaturan alam semesta adalah Allah Ta’ala mengatur dengan hukum dan syariat-Nya, yaitu ini halal, itu haram, dan sebagainya.

Tinjauan kedua, jika ditinjau dari sisi bahwa seorang hamba wajib beribadah kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan ketaatan terhadap semua syariat dan hukum Allah Ta’ala, maka hal ini termasuk dalam cakupan tauhid uluhiyyah. Karena di antara bentuk ibadah adalah menjadikan hukum Allah Ta’ala sebagai hukum yang mengatur kehidupan kita.

Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafidzahullahu Ta’ala berkata,

“Tauhid hakimiyyah itu tercakup bisa jadi dalam tauhid rububiyyah, atau dalam tauhid uluhiyyah, atau tercakup dalam dua-duanya sekaligus. Karena Allah Ta’ala menjadikan hukum itu milik-Nya, sebagaimana firman-Nya,

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’am [6]: 57)

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy-Syuura [42]: 10)

فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

“Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Ghaafir [40]: 12)

Adapun hakimiyyah ditinjau dari sisi kewajiban manusia, maka ini termasuk pebuatan hamba. Sedangkan semua perbuatan hamba termasuk dalam tauhid uluhiyyah.” (Ithaaf As-Saail bimaa fi Ath-Thahawiyyah min Masaail, hal. 19-20) [1]

Oleh karena itu, makna “hakimiyyah” sebagaimana yang mereka maksud adalah makna yang benar, tidak salah sama sekali. Karena wajib bagi kita untuk berhukum dengan syariat Allah Ta’ala. Akan tetapi, kandungan maknanya sudah tercakup dalam tauhid uluhiyyah, menurut salah satu sudut pandang. Para ulama salaf tidaklah menihilkan tauhid hakimiyyah, sehingga orang-orang di zaman sekarang ini merasa perlu menambahkan jenis tauhid yang ke empat, yaitu tauhid hakimiyyah. Menurut para salaf, tauhid hakimiyyah itu sudah termasuk dalam tauhid uluhiyyah, sehingga tidak perlu disendirikan secara khusus.

Jika motivasi menjadikan hakimiyyah sebagai tauhid tersendiri adalah karena melihat realita keumatan yang meremehkan dan melalaikan masalah berhukum dengan hukum Allah, maka pola pikir dan argumentasi seperti ini tidaklah tepat. Karena konsekuensinya, kita pun akan merasa perlu membuat jenis tauhid baru, misalnya tauhid shalat, karena melihat realita umat yang banyak meremehkan dan melupakan urusan shalat. Atau akan ada tauhid zakat, ketika melihat realia umat yang banyak meremehkan dan tidak mau menunaikan zakat. Juga akan ada tauhid puasa, tauhid haji, dan semua jenis ibadah perlu dibuat tauhid tersendiri ketika umat Islam sekarang ini meremehkan jenis ibadah tersebut. Jadilah macam-macam tauhid itu banyak sekali dan tidak ada ujungnya. Padahal, semua jenis ibadah itu sudah termasuk dalam tauhid uluhiyyah. [2]

Fatwa para ulama tentang tauhid hakimiyyah

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala ditanya, “Sekarang ini ada orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya tauhid itu ada empat. Mereka berkata, “Tauhid jenis yang ke empat adalah tauhid hakimiyyah.” Apakah ini benar?

Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Tauhid tidaklah dibagi menjadi empat. Tauhid itu hanyalah dibagi menjadi tiga, sebagaimana perkataan para ulama. Adapun tauhid hakimiyyah itu sudah tercakup dalam tauhid ibadah (tauhid uluhiyyah). Termasuk dalam tauhid ibadah adalah berhukum dengan apa yang Allah Ta’ala syariatkan, shalat, puasa, zakat, haji, dan berhukum dengan syariat-Nya. Semua ini termasuk dalam tauhid ibadah.” (Majmu’ Fataawa wa Maqalaat Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz, 30: 328)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala ditanya, “Apa yang Engkau katakan terhadap orang-orang yang menambahkan jens tauhid yang ke empat, yang mereka sebut dengan tauhid hakimiyyah?”

Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Kami katakan bahwa sesungguhnya itu adalah kesesatan dan kebodohan. Karena tauhid hakimiyyah adalah tauhidullah, karena Al-Haakim (yang menetapkan hukum) adalah Allah Ta’ala. Jika Engkau mengatakan bahwa tauhid itu ada tiga macam, sebagaimana perkataan para ulama, yaitu tauhid rububiyyah … (dan seterusnya), pent.), maka tauhid hakimiyyah itu sudah tercakup dalam tauhid rububiyyah. Karena makna yang terkandung dalam tauhid rububiyyah adalah mentauhidkan dalam perbuatan menetapkan hukum, menciptakan, dan mengatur bagi Allah Ta’ala semata.” (Liqaa’at Al-Baab Al-Maftuuh, 12: 150)

Syaikh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi hafidzahullahu Ta’ala ditanya tentang tauhid hakimiyyah dalam salah satu majelis beliau di Masjidil Haram, lalu beliau menjawab,

“Tauhid hakimiyyah adalah jenis tauhid yang diada-adakan. Yang pertama kali mengadakannya adalah (organisasi) Al-Ikhwaan Al-Muslimiin. Mereka tidaklah mengada-adakan jenis tauhid yang ke empat ini kecuali untuk mengkafirkan penguasa dan memberontak kepada mereka.” (Al-Hukmu bighairi Maa Anzalallah, hal. 92) [3]

Demikianlah sedikit pembahasan tentang pembagian tauhid menjadi tiga. Semoga penjelasan ini dapat mencerahkan sebagian orang yang sebelumnya bertanya-tanya tentang asal usul pembagian tauhid menjadi tiga.

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, M.Sc. Ph.D

_______

Referensi:

[1] Dikutip dari kitab Al-Hukmu bighairi Maa Anzalallah, hal. 88-89.

[2] Disarikan dari kitab Duruus minal Qur’anil Kariim, karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala, hal. 17-19 (penerbit Daarul ‘Ashimah KSA, cetakan pertama tahun 1421).

[3] Fatwa-fatwa ulama di atas kami kutip dari kitab Al-Hukmu bighairi Maa Anzalallah wa Tahdziir min Fikri At-Takfiir, karya Syaikh ‘Abdussalaam bin Barjas bin Naashir ‘Abdul Karim rahimahullahu Ta’ala, penerbit Daarul Minhaj Kairo, cetakan pertama tahun 1436. Di kitab tersebut, penulis juga banyak mengutip fatwa para ulama lainnya yang membantah adanya jenis tauhid yang ke empat, yaitu tauhid hakimiyyah.

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags