Abu Syuja’ rahimahullah menyebutkan,
Yang membatalkan puasa ada 10 hal:
- Segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh),
- Segala sesuatu yang masuk lewat kepala,
- Segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur,
- Muntah dengan sengaja,
- Menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan,
- Keluar mani karena bercumbu,
- Haidh,
- Nifas,
- Hila,
- Keluar dari Islam (murtad).
- Segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh),
- Segala sesuatu yang masuk lewat kepala,
- Segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur
Ketiga hal di atas termasuk pembatal menurut ulama Syafi’iyah.
Makan dan minum termasuk pembatal jika dilakukan dengan sengaja walau jumlah yang dikonsumsi sedikit. Begitu yang punya makna sama dengan makan dihukumi pula sebagai pembatal.
Patokan makan atau minum bisa jadi pembatal: jika ada yang masuk dari luar ke dalam perut lewat saluran yang terbuka dan dilakukan dengan sengaja dalam keadaan berpuasa. Yang dimaksud jauf di sini adalah berupa rongga. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah contoh yang jadi pembatal adalah tetes telinga karena tetes tersebut masuk dari luar ke perut melalui rongga terbuka. Sedangkan menggunakan celak tidaklah termasuk pembatal -kata ulama Syafi’iyah- karena mata bukanlah saluran yang sampai ke rongga perut. Sedangkan menelan ludah tidak membatalkan puasa karena berasal dari dalam tubuh. Lihat penjelasan ini dalam Kifayatul Akhyar, hal. 249.
Sedangkan orang yang makan dalam keadaan lupa, walau banyak, puasanya tidaklah batal. Demikian pendapat Imam Nawawi dengan berdalil pada hadits,
مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan berpuasa lantas ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena Allah-lah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155).
Sedangkan jika seseorang jahil (tidak tahu) akan haramnya makan saat puasa, maka apabila ia baru masuk Islam atau berada di pelosok suatu negeri yang tidak tahu akan ilmu ini, puasanya tidaklah batal. Jika tidak, maka puasanya barulah batal. Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 250.
Komentar:
Mengenai pembahasan “al jauf” ada berbagai pendapat di kalangan ulama madzhab. Kita ringkas saja menjadi dua macam pendapat:
Para ulama yang menyatakan bahwa pembatal puasa terjadi jika ada sesuatu yang diinjeksi melalui otak (rongga pada tenggorak kepala), melalui dubur atau semacamnya. Mereka menganggap bahwa saluran-saluran tadi bersambung dengan saluran pada organ dalam perut. Akan tetapi pendapat ini lemah karena penelitian kedokteran terkini membuktikan bahwa saluran-saluran tersebut tidak bersambung dengan organ dalam tubuh.
Para ulama yang menganggap “الجوف” adalah organ dalam perut saja. Dan ada yang menganggap bahwa “
” bukan hanya organ dalam perut.
Pada kenyataannya, dalil begitu jelas menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa hanyalah makan dan minum. Ini berarti bahwa yang dianggap membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk menuju perut (lambung). Inilah yang menjadi batasan hukum dan jika tidak memenuhi syarat ini berarti menunjukkan tidak adanya hukum. Sehingga pendapat terkuat dalam masalah ini, yang dimaksud “الجوف” adalah perut (lambung), bukan organ lainnya dalam tubuh.
Juga ditambahkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman artinya bisa mengenyangkan, bukan segala sesuatu yang masuk dalam perut. Alasan yang mendukung hal ini:
Yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita, bukan dengan memakan batu dan uang dirham. Memakan seperti itu tidak dianggap makan sebagaimana maksud dalil. Oleh karenanya ketika pakar bahasa Arab mendefiniskan apa itu makan, mereka berkata, “Yang namanya makan itu sudah ma’ruf”.
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya menjadikan makan dan minum sebagai pembatal puasa karena keduanya bisa menguatkan dan mengenyangkan, bukan hanya sekedar memasukkan sesuatu ke perut.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau bercelak. ” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 245). Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.
Pengertian makan menurut bahasa adalah dengan memasukkan makanan. Dalam Lisanul ‘Arob disebutkan,
أكلت الطعام أكلاً ومأكلاً
“Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”Ar Romaani dalam Al Mishbahul Munir berkata,
الأكل حقيقةً بلع الطعام بعد مضغه، فبلع الحصاة ليس بأكل حقيقةً
“Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan”
Dalam Al Mufrodhaat Al Ashfahani disebutkan,
الأكل تناول المطعم
“Makan adalah mencerna makanan.”
Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Puasa itu meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari no. 1903). Lihat pembahasan guru penulis Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh”.
(4) Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.” (HR. Abu Daud no. 2380, Ibnu Majah no. 1676 dan Tirmidzi no. 720. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri artinya dalam keadaan seperti dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama tidak ada muntahan yang kembali ke dalam perut atas pilihannya sendiri. Jika yang terakhir ini terjadi, maka puasanya batal. Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 556.
Insya Allah pembahasan pembatal puasa lainnya akan dilanjutkan dalam serial fikih puasa ke-4, dengan izin Allah. Semoga Allah beri tambahan ilmu yang bermanfaat.
____
Referensi:
Al Fiqhu Al Manhaji, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, 1431 H.
Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri ‘ala Syarh Al ‘Allamah Ibnul Qosim Al Ghozzi ‘ala Matan Abi Syuja’, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, 1428 H.
Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh, -Guru kami- Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim), soft file.
Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
Serial kali ini, kita akan melanjutkan mengenai pembatal puasa lainnya yang sebelumnya telah sampai pada pembatal keempat.
Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Al Ghoyah wat Taqrib menyebutkan sebelumnya,
Yang membatalkan puasa ada 10 hal: (1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala, (3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur, (4) muntah dengan sengaja, (5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan, (6) keluar mani karena bercumbu, (7) haidh, (8) nifas, (9) gila, (10) keluar dari Islam (murtad).
(5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan
Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara sengaja dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia (anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia). Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.
Sedangkan jika dilakukan dalam keadaan lupa dan tidak mengetahui haramnya, maka tidak batal sebagaimana ketika membahas tentang pembatal puasa berupa makan. Lihat bahasan dalam Al Iqna’, 1: 408 dan Syarh Al Baijuri, 1: 559-560.
Dalil yang menunjukkan bahwa bersetubuh termasuk pembatal adalah firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid” (QS. Al Baqarah: 187). Tubasyiruhunna dalam ayat ini bermakna menyetubuhi.
(6) keluar mani karena bercumbu
Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa. Lihat Al Iqna’, 1: 408-409 dan Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.
Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal jika mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak haram seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam (mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus ulama). (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Dalam Hasyiyah Al Baijuri (1: 560) disebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa, walau karena bercumbu.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak menciumpasangannya.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).
(7) haidh dan (8) nifas
Dari Abu Sa’id Al Khudri ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79).
Muhammad Al Hishni, penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Telah ada nukilan ijma’ (sepakat ulama), puasa menjadi tidak sah jika mendapati haidh dan nifas. Jika haidh dan nifas didapati di pertengahan siang, puasanya batal.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Jika seorang wanita mendapati haidh dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haidh atau nifas di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia wajib mengqodho’ puasa pada hari tersebut.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).
(9) Gila dan (10) Murtad
Kedua sifat ini membuat puasa tidak sah. Karena orang yang dalam keadaan gila dan murtad tidak dikenai kewajiban ibadah (bukan ‘ahliyatul ‘ibadah’).
Muhammad Al Hishni berkata, “Jika datang gila atau ada yang murtad, maka batallah puasa karena tidak termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Bagaimana dengan orang yang pingsan?
Dijelaskan oleh Muhammad Al Hishni bahwa jika hilang kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahari, -pen), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251 dan Hasyiyah Al Baijuri, 1: 561.
Bagaimana dengan orang yang tidur seharian, apakah puasanya sah?
Ada ulama yang mengatakan tidak sah sebagaimana perihal pingsan di atas. Namun yang shahih dari pendapat madzhab Syafi’i, tidur seharian tersebut tidak merusak puasa karena orang yang tidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251.
Demikian pembahasan mengenai pembatal puasa. Moga bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, 1428 H.
Al Fiqhu Al Manhaji, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, 1431 H.
Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri ‘ala Syarh Al ‘Allamah Ibnul Qosim Al Ghozzi ‘ala Matan Abi Syuja’, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: https://muslim.or.id/