Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kita kembali lanjutkan pembahasan kaidah seputar jual beli. Kita bahas kaidah kesebelas.
Kaidah kesebelas, terkait jual beli buah sebelum masak
Kaidah menyatakan,
لا يجوز بيع الثمار حتى يبدو صلاحها
Tidak boleh jual beli buah sampai nampak kelayakannya.
Keterangan:
Ada banyak hadis yang mendasari kaidah ini, diantaranya,
Pertama, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا ، نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda melarang jual beli buah sampai nampak kelayakannya. Beliau melarang penjual dan pembeli. (HR. Bukhari 2194, Abu Daud 3369 dan yang lainnya).
Kedua, hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ ثَمَرِ النَّخْلِ حَتَّى تَزْهُوَ. فَقُلْنَا لأَنَسٍ مَا زَهْوُهَا قَالَ تَحْمَرُّ وَتَصْفَرُّ. أَرَأَيْتَكَ إِنْ مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ بِمَ تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيكَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah kurma sampai nampak kelayakannya.
Perawi bertanya kepada Anas, “Apa yang dimaksud nampak kelayakannya?” jawab Anas: “Sampai memerah atau menguning.”
Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana menurutmu jika Allah menghendaki tidak jadi berbuah. Dengan alasan apa dia boleh mengambil harta saudaranya?” (HR. Bukhari 2208 & Muslim 4060).
Ketiga, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ وَعَنِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِى
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli kurma sampai memerah atau menguning. Dan tidak boleh jual beli bulir gandum sampai memutih (terlihat isinya), dan aman dari gagal panen. Beliau melarang penjual dan pembeli.” (HR. Ahmad 4493, Muslim 3943, dan Abu Daud 3370).
Keempat, hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ
حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli anggur sampai menghitam, dan beliau melarang jual beli biji-bijian sampai benar-benar berisi. (Ahmad 13613, Abu Daud 3373, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dari beberapa hadis yang kita baca, kita menyimpulkan
Hadis mengenai larangan menjual buah dan hasil pertanian sebelum layak panen, bertujuan untuk menghalangi terjadinya sengketa antara penjual dan pembali.
Beliau mengatakan, “Bagaimana menurutmu jika Allah menghendaki tidak jadi berbuah. Dengan alasan apa dia boleh mengambil harta saudaranya.”
Illah larangan itu adalah adanya gharar (ketidak jelasan) dalam transaksi. Bisa untung besar dan bisa rugi besar. Kembali kepada takdir yang sama sekali tidak diketahui manusia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Bagaimana menurutmu jika Allah menghendaki tidak jadi berbuah.”
Karena illah-nya terkait unsur gharar, larangan ini berlaku baik bagi penjual dan pembeli. Artinya, unsur saling ridha dalam hal ini tidak teranggap. Sehingga, bisa saja ada orang yang melakukan transaksi ijon dan mereka saling ridha. Sekalipun saling ridha, transaksi tetap dianggap batal.
Ibnu Umar mengatakan, “Beliau melarang penjual dan pembeli.”
Batasan yang beliau berikan ada dua,
Dia sudah layak panen (sampai nampak kelayakannya)
Aman dari gagal panen. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis ketiga dari Ibnu Umar.
Standar layak panen hasil pertanian berbeda-beda,
Untuk buah-buahan, kembali kepada warna yang menunjukkan masak atau hampir masak. Untuk kurma, memerah atau menguning. Jika masih hijau, tidak diperkenankan. Untuk anggur, sampai menghitam. Jika masih hijau atau kuning, belum layak dijual.
Untuk biji-bijian, seperti gandum atau beras, kembali kepada isi bulirnya. Orang jawa menyebutnya kematak.
Standar layak panen, tidak harus ada pada semua buah di lahan itu. Namun bisa hanya dengan mengacu pada sebagian yang sudah layak panen. Jika sudah ada sebagian yang layak panen, indikator ini bisa diberlakukan untuk semuanya. Karena jika harus memastikan semua layak panen, akan sangat merepotkan.
Syaikhul Islam mengatakan,
وإذا بدا صلاح بعض شجرة جاز بيعها وبيع ذلك الجنس وهو رواية عن أحمد
Jika telah nampak kelayakan di sebagian tanaman, maka boleh menjualnya dan menjual tanaman yang sejenisnya. Dan ini riwayat dari Imam Ahmad. (al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, hlm. 475).
Demikian pula keterangan Ibnul Qoyim,
إذا بدا الصلاح في بعض الشجر جاز بيعها جميعها ، وكذلك يجوز بيع ذلك النوع كله في البستان
Jika telah nampak kelayakan di sebagian pohon, maka boleh menjual semua hasil pohon itu. Dan boleh menjual semua yang sejenis dengan pohon itu yang satu kebun. (I’lam al-Muwaqqi’in, 4/23).
Boleh melakukan transaksi ijon untuk diambil ketika selesai akad
Misalnya, orang membeli mangga yang belum kelihatan layak panen, masih kecil-kecil. Tapi langsung diambil setelah akad. Terutama bagi yang membutuhkan mangga kecil untuk manisan.
Bedakan antara jual beli pohon dengan jual beli buah
Hadis ini membahas jual beli buah atau biji yang ada di pohon. Berbeda dengan jual beli pohon, dia dibeli untuk diambil semuanya.
Yang menjadi pertanyaan, siapa yang berhak memiliki buahnya,
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ ، إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ ، وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Siapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya milik penjual. Kecuali jika membeli mempersyaratkan. Siapa yang membeli budak dan dia membawa harta, maka harta itu milik orang yang menjualnya, kecuali jika pembeli mempersyaratkannya.” (HR. Bukhari 2379 & Muslim 3986).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rincian untuk pohon yang dikawinkan,
[1] Jika dia beli sebelum dikawinkan maka buah itu menjadi milik pembeli
[2] Jika dia beli setelah dikawinkan maka buah itu menjadi milik penjual.
Ini berlaku jika pohon itu berbuah dengan sebab ada usaha manusia mengawinkannya. Jika dia berbuah tanpa keterlibatan usaha manusia, maka hasilnnya menjadi hak milik pembeli.
Contoh kasus,
Ada sebagian orang yang menjual pohon jagung belum ada isi jagungnya. Tapi dijual untuk digunakan pakan ternak. Sehingga dia diambil setelah dibeli, bukan ditunggu sampai panen. Ini dibolehkan. Karena yang dibeli seluruh pohonnya, dan bukan buahnya.
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com)
Sumber: https://pengusahamuslim.com/