Pengetahuan tentang Allah adalah hal yang paling kita butuhkan dan paling mulia untuk dipelajari, dan tidak akan berhenti kebutuhan kita untuk mempelajarinya. Karena dengan mengenal Allah inilah, akan semakin bertambah keimanan kita, semakin baik ibadah kita dan semakin besar rasa cinta, harap dan takut yang ada pada diri kita dalam setiap amalan ibadah yang kita lakukan.
Tauhid asma dan sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama-nama Allah yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun sunnah Nabi-Nya tanpa melakukan empat hal berikut:
1. Penolakan (ta’thil)
Yaitu meniadakan atau menolak nama dan sifat yang telah Allah tetapkan bagi Diri-Nya, baik sebagiannya ataupun seluruhnya.
Misalnya membatasi sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja dan menolak sifat lainnya karena (mereka katakan) akan menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal penetapan sifat Allah tidak berarti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya
2. Penyimpangan (tahrif)
Yaitu merubah atau mengganti makna dari apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan yang ditetapkan oleh Rasul-Nya.
Misalnya: Sifat marah Allah diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat istiwa Allah diselewengkan menjadi istaula (menguasai).
3. Membagaimanakan bentuk nama dan sifat Allah (takyif), yaitu membatasi bagaimanakah sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah.
Padahal hal ini tidak mungkin. Untuk mengetahui bentuk dan hakekat dari sebuah sifat, dapat diketahui dari tiga hal:
- Melihat zat tersebut. Dan ini tidak mungkin kita lakukan karena manusia di dunia tidak ada yang pernah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Ada sesuatu yang semisal zat tersebut. Dan ini juga tidak mungkin kita lakukan kepada Allah karena Allah tidak serupa dengan makhluknya.
- Ada berita yang akurat (khobar shodiq). Orang yang paling tahu tentang Allah adalah Rasul-Nya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberitakan tentang bentuk sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya (tamtsil/tasybih).
Inipun tidak mungkin karena Allah tidak serupa dengan hamba-Nya, akan tetapi Allah tetap memiliki nama dan sifat sebagaimana yang ditetapkan oleh-Nya dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)
n)
Agar kita tidak terjatuh dalam 4 (empat) penyimpangan besar dalam tauhid nama dan sifat Allah ini, maka terdapat kaidah umum yang ditetapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut:
- 1. Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah (hadits-hadits shahih).
Artinya, kita tidak membedakan dalam mengimani segala ayat yang ada dalam Al-Qur’an, baik itu mengenai hukum, sifat-sifat Allah, berita, ancaman dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah tepat jika seseorang kemudian hanya mengimani ayat-ayat hukum karena dapat dicerna oleh akal sedangkan mengenai nama dan sifat Allah, harus diselewengkan maknanya karena tidak sesuai dengan jangkauan akal mereka.
“… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 85)
Begitupula dalam mengimani hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita tidak membedakan apakah itu hadits mutawatir ataupun hadits ahad, karena jika itu shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia wajib diimani walaupun akal kita tidak dapat memahaminya. (Lihat artikel Tasirul Mustholah Hadits, bagaian 2 dan 3).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segera saja ada seorang yang duduk di atas sofanya lalu disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau sesuatu yang aku larang maka ia berkata, ‘Kami tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah.'” (HR. AbuDawud dan at-Tirmidsi, dishahihkan oleh syaikh al-Albani).
Al-Ustadz Ali Misri mengatakan, “Sebagian ulama memberikan perumpamaan akal dengan wahyu bagaikan mata dengan cahaya. Sebagaimana mata tidak dapat melihat sesuatu kecuali ketika ada cahaya – baik cahaya matahari pada siang hari atau cahaya lampu pada malam hari -, akal tidak akan bisa menentukan sesuatu terutama dalam hal yang ghaib kecuali jika ada penjelasan dari wahyu.” (majalah Al-Furqon)
- 2. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.
Ketika kita mengakui segala nama dan sifat yang Allah tetapkan, seperti Allah maha melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan Allah, maka kita tidak diperbolehkan menerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat makhluk.
Sayangnya, hal inilah yang sering terjadi pada sekelompok orang, dan hal ini pulalah yang memicu penyimpangan yang terjadi pada tauhid asma wa shifat. Kesalahan yang berbuah kesalahan. Contohnya sebagai berikut:
Seseorang tidak ingin menyerupakan sifat Allah dengan makhluk sehingga ia menyimpangkan (tahrif) sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya karena menganggap jika ia menetapkan sifat tersebut maka ia akan menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal tidak demikian. Allah sendiri menyatakan dalam firman-Nya,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Hal ini disebabkan kesamaan dalam nama tidak berarti kesamaan dalam bentuk dan sifat. Contohnya adalah kaki gajah dan semut. Mereka sama-sama memiliki kaki, namun bentuk dan hakekat kaki tersebut tetaplah berbeda.
Atau seseorang tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk karena khawatir akan menghinakan Allah sehingga ia menolak segala nama dan sifat yang Allah tetapkan baik sebagian atau seluruhnya. Contohnya adalah orang-orang yang menyatakan nama-nama Allah hanya ada 13. Padahal apa yang mereka lakukan justru menghinakan Allah karena penetapan mereka memiliki konsekuensi Allah memiliki sifat-sifat yang terbatas.
- 3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu bentuk penyimpangan dalam tauhid asma wa shifat adalah menanyakan bagaimana bentuk dan hakekat sifat-sifat Allah. Dan hal ini tidak mungkin dapat kita ketahui karena Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan hal tersebut. Sebagai contoh, seseorang tidak dapat menanyakan kaifiyat (bagaimananya) sifat tertawa Allah, atau bentuk tangan Allah, atau bagaimanakah wajah Allah.
Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam dan Allah maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya.Dan untuk mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat zat tersebut. Sebagai contoh, kita meyakini adanya roh (nyawa) walaupun kita tidak pernah mengetahi bentuk dan hakekat dari roh tersebut. Padahal roh adalah sesuatu yang sangat dekat dengan manusia namun akal kita tidak pernah mampu mengetahui bentuk dan hakekatnya.
Termasuk larangan dalam hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk dan hakikat sifat Allah, karena akan membuka pada penyimpangan lainnya, yaitu penyerupaan dengan makhluk. Yang perlu diluruskan adalah, larangan untuk mengetahui bentuk dan hakekat dari sifat-sifat Allah bukan berarti meniadakan adanya bentuk dan hakekat dari sifat-sifat Allah. Hakekat sifat Allah tetaplah ada dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
Sekarang kita praktekkan ilmu yang kita telah pelajari dalam memahami salah satu hadits tentang salah satu sifat Allah, yaitu Allah turun ke langit dunia setiap malam, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya.'” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sesuai kaidah, maka kita tetapkan sifat turun pada Allah Ta’ala.Kita tidak menyerupakan sifat turun ini dengan makhluk (dimana sifat turun pada makhluk adalah dari atas ke bawah dan memiliki sifat kurang (naqish)) dan juga kita tidak menanyakan atau membayangkan bagaimana Allah turun ke langit dunia setiap malam (seperti banyak orang menakwilkan (tepatnya menyelewengkan) hadits ini karena menganggap tidak mungkin bagi Allah turun ke langit dunia setiap malam karena dunia ada yang malam dan ada yang siang, lalu bagaimana Allah turun atau pertanyaan-pertanyaan lainnya yang memustahilkan sesuatu bagi Allah karena berpikir dengan logika makhluk). Allah sempurna dengan segala sifatnya dan tidak memiliki sifat kurang dalam seluruh sifat tersebut. Jika kita tidak mampu memahami ini, maka cukuplah bagi kita mengimaninya bahwa sifat turun ini ada pada Allah.
Contoh lainnya adalah mengimani sifat al-wajhu (wajah), al-yadain (dua tangan) dan al-‘ainain (dua mata), sebagaimana Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Al-Qur’an
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal wajah Rabb-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Qs. Ar-Rahman: 27)
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan mata Kami.” (Qs. Ath-Thur: 48)
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْعَالِينَ
“Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada (Adam) yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Qs. Shad: 75)
Dari apa yang telah Allah kabarkan untuk diri-Nya ini, maka sesuai kaidah, kita mengimani (menetapkan) sifat tersebut bagi Allah, dan tidak menyerupakan sifat-sifat tersebut dengan makhluk, serta tidak menanyakan bagaimana bentuk atau penggunaan dari sifat-sifat Allah tersebut, misalnya mempertanyakan bagaimana wajah Allah, atau membayangkan mata Allah seperti manusia atau membayangkan bagaimana Allah menggunakan kedua tangannya.
Demikian ‘sedikit’ pengetahuan tentang Allah dengan nama dan sifat-Nya. Pembahasan ini sungguh sangat luas sehingga tidak dapat dicukupkan dengan satu artikel ini. Semoga Allah memudahkan untuk mewujudkan ilmu tentang ini pada artikel-artikel selanjutnya, insya Allah.
Penulis: Ummu Ziyad F. Mustikawati
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
____
Maraji’:
- Majalah Al-Furqon edisi 08 tahun ke-8 1430/2009
- Syarah Tsalaatsatul Ushuul – terjemahan -, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ’Utsaimin. Al Qowam.
- Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Studi Tentang Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Sa’id bin Ali bin Wahfi al-Qahthaniy
Sumber: https://muslimah.or.id/